Mencari rizki dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu
yang halal. Akan tetapi, fenomena yang kita saat ini, tidak jarang
seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam
pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap, sogok
menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka terima.
Bagaimana tinjauan syariat dalam masalah ini ? :
DEFINISI SUAP, HADIAH DAN BONUS
Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai
diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya.
Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji,
uang suap, hadiah dan bonus.[2]
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam
bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut “memberi
uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan
kemudahan dalam suatu urusan”. [3]
Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian
seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada
syarat dan balasan”.[4]
Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [5]
DALIL TENTANG SUAP DAN HADIAH
Suap, hukumnya sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.[Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata :
“Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan
cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan
memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal
itu tidak halal bagi kalian”.[6]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah
orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga mereka dan
dibutakanNya penglihatan mereka [Muhammad : 22-23]
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi
dengan suap dan sogok.”[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [Al-Maidah : 42]
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di
dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan
beliau berkata: “Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan
membawanya kepada kekufuran”.[8]
Sedangkan dari Sunnah.
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR
At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad
2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan
perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits
bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena
ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al
Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya
suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, [9] Ibnul
Atsir, [10] Shan’ani rahimahullah. [11]
Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat,
sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang
remeh.
Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wahai, wanita muslimah.
Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada
tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat
Fathul Bari, 5/198]
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian
saling mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar
berkata,”Sanadnya shahih”]
Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi
Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik
bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai
cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati
dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk
memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan,
bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.
PERBEDAAN ANTARA SUAP DENGAN HADIAH
Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat
membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan
tersebut, di antaranya :
1. Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk
pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian
yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi
seorang muslim.
2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan
syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara
tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang
batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim
dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau
pemberian untuk membalas budi.[12]
4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan
saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan
hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5. Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. [13]
HUKUM PEMBERIAN KEPADA PEGAWAI
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan
perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya
menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak
ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud,
juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan
kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Terdapat riwayat yang sangat menarik untuk menggambarkan penmasalahan
ini. Dan Abu Hamid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari
suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang
memanggilnya dengan ‘Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya.
Ia (orang tersebut, Red) berkata,”Ini harta kalian, dan ini hadiah,”
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau
ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?”
Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla ,
Lalu beliau bersabda : “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah
pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan kepadaku,
Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini
hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah
ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah ,
tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia
bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang
melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan
berkata: “Ya Allah, telah aku sampaikan,” (rawi berkata),”Aku Lihat
langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku.”
[HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832]
Karena seringnya orang mempermainkan istilah syariat, sehingga sesuatu
yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu pula dengan suap.
Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka, yang
terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk pemberian
tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu.
Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi Dalam Tiga Bagian.
Pertama : Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun Mengambilnya.[14]
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil,
ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh
seorang pegawai.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat
menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya
tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan
datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan
atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan
pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan
perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah,
pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya,
agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa
berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan
sebagainya.
Kedua : Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang
menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai
bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia
lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak
kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai
tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan,
atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan
masam. [15]
Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang
memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaLiman atau
menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil,
dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada
seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada
beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau
memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali
meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [16]
Ketiga : Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan Dianjurkan Memberi Dan Mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin
ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian
ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah
tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz
zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
1. Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan
(usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga
memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian
itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang
menjabat.
2. Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai
yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya,
dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
3. Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.
4. Hadiah atasan kepada bawahannya.
5. Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.
Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apalah lagi dengan perbuatan ghulul?
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari ‘Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami
tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau
lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang
harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.
Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam,
ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,”
beliau bersabda, “Apa gerangan?” Dia berkata, “Aku mendengar engkau baru
saja berkata begini dan begini,” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bersabda, ”Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk
untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang
kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa
yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya.”[HR Muslim, no.
1833]
SOLUSI SUAP DAN HADIAH YANG HARAM
Permasalahan suap dan “pemberian hadiah” yang membudaya di masyarakat
ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang
sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat
Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan
ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.
Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan
kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam dan
menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum, sehingga
peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk
mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah
(menyeluruh).
Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya, terbagi dalam dua hal.
Pertama : Solusi Untuk Individu Dan Masyarakat.
1. Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia mengetahui
perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui laranganNya lalu
menjauhinya.
2. Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan
ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak
menunaikan amanah. Dalam hat ini, peran agama memiliki pengaruh sangat
besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia.
3. Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa
membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi dengan mencari rizki yang halal
dan hidup dengan qana’ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta
tersebut.
4. Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada
kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta
pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua
perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang
hartanya, dari mana engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan?
Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat
pada pertanyaan berikutnya.
Kedua : Solusi Untuk Ulil Amri (Pemerintah).
1. Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai
dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, rakyat mengikuti agama
rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan
sebaliknya.
2. Bekerjasama dengan para da’i untuk menghidupkan ruh tauhid dan
keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tauhid telah lurus dan
iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan
oleh setiap diri seorang muslim.
3. Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu
kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan amanah. Jika kurang salh satu
dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian,
memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya.
4. Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah
(orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik, dan
mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, Ia juga menjauhi
bithanah yang thalih.
Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasatalan ini Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk
menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish showab.
F ootnote
[1]. Al Hawil Kabir, 19/180.
[2]. Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1/216.
[3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi
para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith,
4/336.
[4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7]. Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208.
[8]. Al Mughni, 11/437.
[9]. Ibid.
[10]. An Nihayah, 2/226.
[11]. Subulussalam, 1/216.
[12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal 27-29.
[14]. Ibid, hlm. 35-79.
[15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan
hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu
dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16]. Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir
7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author,
10/259-261.
Home »
» FIQH MUAMALAH:SUAP,HADIAH,DAN BONUS..BEDA TIPIS!!
FIQH MUAMALAH:SUAP,HADIAH,DAN BONUS..BEDA TIPIS!!
Written By phyton.id on Jumat, 27 September 2013 | 16.52
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
maaf sob.!! jika komentar saya ini diluar bahasan..
BalasHapusbanyak manfaat adanya kolom komentar, dengan adanya sahabat lain yang berkomentar di blog kita,sudah dipastikan kita mendapat 1 visitor, selain itu dengan saling berkomentar kita bisa berdiskusi untuk optimasi blog tentunya,
jika boleh memberi saran, sobat bisa pisahkan artikel sobat ini menjadi 2-3 title judul artikel karena tidak dapat di pungkiri tujuan blogwalking salah satunya adalah sebaiknya meninggalkan komentar setelah membaca..tetapi yang saya lihat di blog agan, hampir semua artikel memuat tulisan yang begitu panjang sehingga orang enggan membaca dan akan meninggalkan blog kita tanpa adanya komentar.
Sekali lagi saya mohon maaf, karena sesama blogger haruslah saling berbagi.
Terimakasih