About Templatezy

Home » » FIQH JUAL BELI.....AL KHIYAR

FIQH JUAL BELI.....AL KHIYAR

Written By phyton.id on Rabu, 03 Juli 2013 | 00.22

Tidak disangsikan lagi, ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan hubungan antar manusia, khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan proses perpindahannya. Terkadang muncul rasa sesal karena tergesa-gesa dalam melakukan transaksi atau membatalkannya. Untuk mengatasi timbulnya penyesalan atau yang semisalnya ini, syariat Islam memberikan hak pilih antara menggagalkan atau melangsungkan transaksi. Hak pilih ini dikenal dengan al-khiyâr.

DEFINISI AL-KHIYAR (HAK PILIH)
Secara Etimologi, al-khiyâr bermakna memilih, menyisihkan dan mengayak. Secara umum, al-khiyâr bermakna menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.

Karena jenis dan ragam al-Khiyâr begitu banyak, para ulama fikih memiliki definisi yang beragam tentang al-Khiyâr ini. Namun, definisi yang dipandang mewakili seluruhnya adalah hak yang dimiliki oleh orang yang bertransaksi untuk memilih antara dua hal yang disukainya, antara meneruskan transaksi atau membatalkannya, karena ada alasan syar’i atau konsekuensi kesepakatan transaksi.[1]

HIKMAH PENSYARIATAN.[2]
Ada beberapa hikmah yang disampaikan ulama fikih dalam pensyariatan al-khiyâr, di antaranya :

1. Membuktikan dan mempertegas kerelaan dari kedua belah pihak. Oleh sebab itu, syariat hanya menetapkan al-khiyâr dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang bertransaksi menegaskannya sebagai persyaratan.

2. Memperkecil kelemahan transaksi sejak awal, karena informasi yang tidak lengkap atau ada keraguan atau sejenisnya yang dikhawatirkan bisa menyebabkan kerugian bagi para transaktor (pelaku transaksi).

3. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk meninjau ulang transaksinya agar bisa mendapatkan kebaikan dan bisa mencapai tujuannya dalam jual beli.

4. Memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan berfikir ulang dengan memberikan kesempatan untuk berkonsultasi dengan para ahli yang ia percayai tentang kesesuaian harga dan barang. Sehingga ia tidak merasa dibohongi atau dirugikan.

5. Memberikan kemudahan kepada pemilik harta dan menutup kesempatan orang yang rakus, sehingga tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Yaitu dengan memberi kesempatan untuk melihat dan memeriksa barang, serta menimbang-nimbang kesesuaian harga dengan barangnya, agar para pelaku transaksi benar-benar tahu dengan jelas, sehingga tidak menyesal setelah melakukan transaksi tersebut.

6. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk membatalkan transaksi apabila terjadi kesalahan atau karena pihak penjual tidak bersedia memperbaiki cacat pada barangnya.

Demikian beberapa hikmah dari al-khiyâr yang disampaikan para ulama, dengan tetap meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla pasti memiliki hikmah yang agung dalam setiap syari'atNya. Diantara hikmah-hikmah ini ada yang diketahui manusia dan sebagiannya lagi tidak diketahui dan menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla . Seyogyanya, ini semakin menjadikan para hamba-Nya tunduk kepada-Nya.

MACAM-MACAM AL-KHIYAR (HAK PILIH)
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi al-khiyâr menjadi tujuh jenis[3] , yaitu:

1. Khiyâr al-majlis
2. Khiyâr asy-syarat
3. Khiyâr al-‘aib
4. Khiyâr at-tadlîs
5. Khiyâr al-ghabn
6. Khiyâr fî al-bai’ bi takhyîrits tsaman
7. Khiyâr li lkhtilâfil mutabâyi’ain

Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. KHIYAR AL-MAJLIS (HAK PILIH DI LOKASI TRANSAKSI)
Khiyâr al-majlis berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata al-khiyâr dan al-majlis. Kata al-majlis secara etimologi bahasa Arab bermakna tempat duduk [4] . Yang dimaksud di sini adalah tempat transaksi berlangsung, walaupun transaksinya tidak terjadi pada posisi di atas tempat duduk. Pengertian majlis di sini tidak sekedar menyangkut lokasi atau waktu, akan tetapi juga menyangkut keadaan pelaku transaksi. Selama pembicaraan tentang transaksi jual beli tersebut bersambung, maka di situ juga masih dikatakan berada di majlis. Dengan demikian pengertian majlis disini mencakup tiga hal; tempat, waktu dan tema pembicaraan.[5]

Sedangkan para ulama fikih mendefinisikan khiyâr al-majlis sebagai semacam hak pilih bagi kedua belah pihak yang bertransaksi untuk membatalkan transaksi atau melanjutkannya sejak terjadi akad sampai berpisah atau terjadi penawaran pilihan (at-Takhâyur).[6]

Dengan demikian khiyâr al-majlis adalah hak yang diberikan syariat kepada pelaku transaksi untuk menggagalkan akad transaksi atau melanjutkannya selama masih berada di majlis (lokasi).

Dengan dasar ini, transaksi tidak dianggap sempurna sampai pelaku berpisah atau beranjak dari lokasi transaksi. Khiyâr al-majlis ini juga dinamakan sebagian ulama dengan khiyâr al-mutabâyi’ain .

Dasar Pensayriatannya.
Al-Khiyâr jenis ini disyariatkan dengan dasar sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Jual beli itu dengan al-khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah. Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (aib barang dagangannya-red) maka jual beli mereka mendapatkan barakah dan bila keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli mereka dihapus. [7]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِِدٍٍ مِِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih (al-khiyâr) selama belum berpisah atau salah seorang telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika keduanya bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli ini sudah sempurna. Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang darinya tidak menggagalkan jual beli maka akad jual beli ini juga sudah sempurna.[8]

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dengan gamblang hak pilih antara melanjutkan atau menggagalkan transaksi selama belum berpisah.

Ketentuan Khiyâr al-Majlis.
Khiyâr al-majlis diberlakukan pada ketentuan sebagai berikut:

1. Khiyâr al-majlis berlaku pada transaksi yang bertujuan mencari keuntungan (akad al-mu’âwadhah) seperti jual beli, perdamaian dalam jual beli dan ijârah (sewa menyewa) dan yang sejenisnya.

2. Waktu berlakunya dimulai setelah ada ijab dan qabûl dan berakhir dengan perpisahan.

3. Waktu maksimalnya tidak dapat diatasi oleh satu waktu tertentu, sebab ini berpijak pada kehendak para pelaku. Waktunya bisa jadi lama, jika pelaku ingin memberikan kesempatan yang panjang. Bila ingin mempercepat, maka salah seorang pelaku bisa memberikan pilihan kepada yang lainnya untuk segera menentukan atau keduanya segera berpisah dari majlis tersebut.

Batas Akhir Khiyâr al-Majlis.
Khiyâr al-majlis berakhir dengan salah satu dari tiga hal:

1. Berpisah badan atau ada tanda yang menunjukkan perpisahan dari majlis transaksi. Ini telah disepakati oleh para ulama fikih yang mengakui khiyâr al-majlis. Karena jika telah berpisah berarti keduanya telah menuntaskan transaksi sesuai kesepakatan, jadi atau tidak.

2. Saling menawarkan pilihan dalam majlis transaksi. Misalnya, salah seorang mengatakan kepada yang lainnya, “Apakah Anda memilih menggagalkan transaksi atau melanjutkannya ?” Apabila memilih melanjutkan, berarti teransaksi itu terjadi dan selesai, namun bila memilih gagal, maka transaksi itu gagal dan masa Khiyâr al-majlis telah berakhir.

3. Salah seorang dari pelaku transaksi membatalkan atau membiarkan transaksi tersebut hingga berpisah.

Ketiga hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang memiliki hak pilih (al-khiyâr) selama belum berpisah atau salah seorang telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika keduanya bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli ini sudah sempurna. Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang darinya tidak menggagalkan jual beli maka akad jual beli ini juga sudah sempurna. [9]

2. KHIYAR ASY-SYARTH (HAK PILIH DALAM PERSYARATAN)
Khiyâr asy-syarth adalah hak pilih karena persyaratan yang diminta oleh salah satu dari dua pihak yang bertransaksi, atau diminta masing-masing pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain agar diberikan hak memilih antara melanjutkan atau menggagalkan transaksi dalam jangka waktu tertentu.

Sebagai contoh, seorang penjual berkata kepada pembeli, “Saya akan menjual mobil saya dengan US$ 100.000;”. Lalu pembeli menjawab, “Saya setuju dengan syarat diberi hak pilih selama dua hari”. Syarat yang diajukan pembeli di sini untuk minta kesempatan berfikir dan memilih-milih selama waktu tertentu itu. Ini dinamakan Khiyâr asy-syarth.[10]

Dasar Pensyariatannya
Dasar syari'at hak pilih jenis ini adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَجُلاً ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوْعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَخِلاَبَةَ

Seorang menyampaikan kepada Nabi n bahwa ia tertipu dalam jual beli. Maka beliau menjawab, "Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah: "Tidak ada hak merampas.”[11]

Demikian juga keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu [al-Mâidah/5:1]

dan Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ

Kaum Muslimin ada pada syarat-syarat mereka.[12]

Dari sisi lain, terkadang hak pilih semacam ini memang amat dibutuhkan, terutama ketika belum memiliki pengalaman niaga yang cukup dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya.

Ketentuan Khiyâr al-Majlis.
Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan khiyâr ini adalah:

1. Para Ulama berbeda pendapat tentang masa tenggang untuk memutuskan pilihan tersebut. Di antara ulama ada yang membatasi tiga hari saja, sementara ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan. Yang râjih dalam masalah masa tenggang ini diserahkan kepada kedua pihak yang bertransaksi tanpa ada batasan waktu tertentu. Namun, tentunya jangan sampai terlalu lama melebihi kebiasaan yang telah berlaku.

2. Sah melakukan persyaratan minta tenggang waktu tertentu walaupun lama.

3. Waktu berlakunya khiyar asy-syarth dimulai sejak transaksi hingga selesai masa tenggang yang disepakati. Apabila telah berlalu masa tenggang tersebut dan belum ada penggagalan transaksi maka transaksi dianggap sempurna dan telah terjadi. Apabila di masa tenggang tersebut salah satu pihak menggagalkan transaksi, maka itu boleh, karena itu adalah hak kedua belah pihak.

4. Harus ada pembatasan khiyâr dalam waktu tertentu yang baku dan dapat dipastikan.

5. Tidak diperbolehkan memberikan persyaratan masa tenggang melebihi masa kadaluarsa barang, karena akan merugikan salah satu pihak. Misalnya meminta tenggang waktu pembelian buah-buahan yang hanya bertahan sepekan dengan persyaratan minta tenggang waktu 10 hari

6. Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai transaksi permanen yang bisa dibatalkan.

Masa Khiyâr asy-Syarth Berakhir.
Masa khiyâr asy-syarth berakhir dengan beberapa sebab di antaranya:
1. Keputusan melanjutkan transaksi atau membatalkannya.
2. Masa tenggang telah habis tanpa ada keputusan untuk membatalkan transaksi
3. Barang yang ditrasnsaksikan hilang atau rusak.


3. KHIYAR ‘AIB
Diantara hak pilih yang diakui bagi masing-masing pihak yang bertransaksi adalah khiyâr aib. Dimana salah satu transaktor dapat menggagalkan transaksi bila tersingkap adanya cacat pada objek transaksi yang sebelumnya tidak diketahui.

Ulama pakar fikih mendefiniskannya dengan hak syar’i yang ditetapkan dengan segala konsekwensinya untuk pembeli dalam menyempurnakan atau menggagalkan transaksi apabila mendapatkan barang memiliki aib dan rusak yang belum diketahui sebelumnya ketika waktu transaksi.[1]

Pof. DR Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan – hafizhahullâh –lebih jelas menyatakan: Khiyâr aib adalah hak pilih yang diberikan kepada pembeli dengan sebab aib atau cacat pada barang yang tidak diberitahukan oleh penjual atau penjual belum mengetahuinya dan ada indikasi yang menunjukkan bahwa cacat itu ada sejak sebelum dijual.[2]

Hikmah Pensyariatannya
Hikmah disyariatkan hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena para pelaku teransaksi akan melangsungkan transaksinya dengan rela hati jika dia yakin objek transaksinya tidak cacat. Cacat yang tersingkap dikemudian hari jelas akan merusak kerelaannya terhadap transaksi yang sudah terjadi. Oleh sebab itu disyariatkan khiyâr 'aib (hak pilih antara melanjutkan atau membatalkan transaksi karena ada cacat pada objek transaksi). Sehingga problem ketidakrelaan terhadap keberlangsungan suatu transaksi akibat cacat pada objek transaksi bisa diatasi.

Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi nilai barang itu di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini adalah orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang itu sendiri. Juga disyaratkan, cacat itu sudah ada sebelum serah terima sementara orang yang bertransaksi tidak mengetahuinya. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksiomatik.

Khiyâr 'aib (hak pilih karena cacat) ini memberikan hak kepada orang yang bertransaksi untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih mungkin. Kalau transaksi itu sudah tidak mungkin lagi dibatalkan karena objek transaksinya sudah bertambah atau berkurang sebelum diketahui cacatnya, maka pihak yang dirugikan berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi senilai dengan pengurangan harga barang akibat cacat itu.

Kalau orang yang mendapati cacat itu tetap rela, baik secara terus terang dia mengungkapkan kerelaannya atau ada indikasi kesana, maka otomatis hak pilih ini gugur.

Hukum Pensyariatannya
Para ahli fikih sepakat tentang tidak bolehnya seseorang menjual barang miliknya yang cacat dengan cara menutupi cacat yang sudah dia ketahui, tanpa memberitahukannya kepada pembeli. Ini sering terjadi di masyarakat. Seorang pembeli akan memilih barang yang tidak cacat dan penjual harus menjelaskan cacat tersebut apabila ada pada barangnya. Apabila terbukti barang tersebut cacat maka syariat memberikan hak pilih (khiyâr) kepada pembeli untuk mengembalikan barang itu dan menggagalkan transaksinya. Ini berdasarkan beberapa dalil dari al-Qur`ân dan as-Sunnah. Diantaranya,

1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ`/4:29].

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyatakan syarat sah jual beli itu adalah dilakukan dengan dasar suka sama suka dari kedua transaktor. Rasa suka ini muncul kalau apa yang dibelinya itu sesuai dengan asumsinya yaitu bagus tanpa cacat. Kalau dikemudian hari, dia menemukan cacat tanpa pemberitahuan sebelumnya dari pihak penjual, tentu hal ini akan merusak sikap suka sama suka tersebut. Oleh karena itu, khiyâr 'aib ini disyari'atkan. Dan si penjual jika hendak menjual barang yang ada cacatnya, diharuskan untuk menjelaskannya.

2. Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Ibnu Mâjah dari sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى عَبْدًا فَاسْتَغَلَّهُ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَرَدَّهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Seorang membeli seorang budak lalu ia menggunakan budak itu. Kemudian dia mendapatkan aib pada budak tersebut, lalu ia mengembalikannya. Penjual berkata : 'Wahai Rasulullah ! Ia telah mempergunakan budakku tersebut'. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: 'Manfaat berbanding dengan resiko'.[3]

3. Hadits dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual barang yang cacat kepada saudaranya kecuali telah ia jelaskan.[4]

Demikianlah sebagian dasar penetapan khiyâr 'aib. Timbul pertanyaan, apakah khiyâr 'aib itu berlaku pada setiap 'aib atau cacat ?

Kriteria Aib Atau Cacat Dalam Barang
Khiyâr 'aib tidak berlaku pada semua kerusakan atau aib. Para ulama menjelaskan kriteria aib (cacat) yang menimbulkan khiyâr 'aib ini yaitu semua cacat yang mengurangi minat pembeli terhadap barang tersebut atau mengurangi nilai barang atau semua cacat yang biasanya tidak ada pada jenis barang itu. [5]

Prof. DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –Hafizhahullâhu – menyatakan : "Kriteria 'aib atau cacat yang dapat menimbulkan khiyâr adalah semua cacat yang dipandang umum dapat menyebabkan nilai barang berkurang atau mengurangi materi atau volume barang tersebut. Untuk mengetahuinya harus meruju' kepada kebiasaan para pedagang yang sudah mu’tabar (kredibel). Semua yang mereka anggap 'aib maka ada khiyârnya dan yang tidak mereka anggap aib yang mengurangi nilai atau dzat barang tersebut, maka tidak dianggap 'aib.[6]

Syarat Dan Penghalang Pengembalian Barang Cacat.[7]
Dalam memberlakukan khiyâr 'aib ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Diantaranya :

1. Cacat itu ada ketika jual beli atau setelah akad sebelum serah terima barang berlangsung. Apabila cacat atau aib itu timbul setelah serah terima barang maka khiyâr ini tidak berlaku. Seorang yang membeli barang kemudian dia melihat aibnya sebelum serah terima barang maka pembeli memiliki hak khiyâr ini, baik cacat tersebut timbul sebelum transaksi atau sesudahnya. Apabila cacat itu timbul setelah barang berpindah ke tangan pembeli maka si pembeli tidak memiliki khiyâr 'aib ini.

2. Cacat atau aib tersebut mempengaruhi nilai barang, sebagaimana penjelasan diatas.

3. Pembeli tidak mengetahui cacat itu ketika akad atau ketika serah terima barang. Apabila pembeli telah mengetahui cacat atau aib tersebut sebelumnya dan tetap melanjutkan transaksinya maka dianggap rela dengan kondisi barang itu. Dengan demikian, khiyâr aib ini tidak berlaku lagi.

4. Cacat itu tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan bersusah payah.

5. Cacat itu masih ada ketika transaksi digagalkan. Misalnya seorang membeli kambing kemudian ketahuan kambing tersebut sakit. Namun ketika transaksi ini hendak digagalkan ternyata kambing itu sehat lagi. Apabila demikian, maka khiyâr aib tidak diberlakukan.

Dari sini dapat diketahui beberapa faktor yang menghalangi pengembalian barang cacat, sehingga barang tidak bisa dilakukan. Diantara penghalang itu adalah :

1. Si pembeli rela menerima barang cacat itu apa adanya setelah mengetahuinya.
2. Pembeli tidak menggunakan hak pilih (khiyâr) ini
3. Barang yang cacat itu hilang
4. Pertambahan barang setelah berada ditangan pembeli. Pertambahan ini terpisah dari barang itu sendiri. Misalnya, seseorang membeli kambing lalu terlihat ada cacat pada kambing itu. Namun sebelum sempat dikembalikan, kambing itu melahirkan. Anak kambing tersebut adalah tambahan yang terpisah dari induknya yang bisa menjadi barang yang diperjual belikan. Pada keadaan seperti ini tidak diberlakukan khiyâr aib.

Waktu Khiyâr Aib
Para ulama ahli fikih sepakat bahwa tidak ada waktu tertentu untuk mengembalikan barang yang cacat. Karena cacat pada barang itu tersembunyi, maka kapan saja cacat itu terlihat dan terbukti maka barang itu boleh dikembalikan atau transaksi itu boleh digagalkan.[8]

Konsekuensi khiyâr aib
Apabila seorang pembeli mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya, maka dia dapat menggunakan hak pilih (khiyâr) ini dengan tiga pilihan :

1. Mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang yang telah dibayarkannya
2. Melanjutkan transaksi dengan tidak mengembalikan barangnya
3. Meminta kompensasi (arsy al-‘aib) dengan cara membandingkan harga barang yang bagus tanpa cacat dengan harganya bila cacat. Selisih harga inilah yang mejadi hak si pembeli sebagai konpensasi cacat pada barang yang dibelinya.

Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –hafizhahullâh- menjelaskan : "Apabila pembeli mengetahui aib atau cacat setelah transaksi, maka ia memiliki khiyâr (berhak memilih) antara melanjutkan transaksi dan mengambil ganti rugi cacat barang, yaitu senilai selisih antara nilai barang tanpa aib dengan yang ada aibnya. Boleh juga menggagalkan transaksi dan mengembalikan barangnya dengan meminta kembali uang yang telah dia bayarkan."[9]

Dalam masalah pengembalian barang yang cacat para ulama ahli fikih (al-fuqahâ) memisahkan permasalahan ini dalam dua keadaan:

1. Apabila cacat diketahui oleh pembeli sebelum serah terima, maka para ulama ahli fikih (al-fuqahâ) sepakat bahwa pembatalan transaksi cukup dengan ucapan si pembeli, tanpa menunggu keputusan pengadilan atau saling suka sama suka (tarâdhi) kedua belah pihak.

2. Apabila diketahui setelah selesai serah terima barang, maka para ulama ahli fikih berselisih pendapat menjadi dua madzhab. Yang râjih –wallâhu a’lam- tidak boleh ada pengembalian barang kecuali setelah ada keputusan dari peradilan atau suka sama suka (tarâdhi).

Bila Terjadi Perselisihan Antara Pembeli Dengan Penjual
Bila terjadi perbedaan antara penjual dengan pembeli tentang waktu timbulnya cacat pada barang, apakah terjadi sebelum dibeli ataukah terjadi akibat kesalahan pembeli, seperti seorang membeli kambing dan setelah sehari kemudian pembeli mengklaim kambingnya pincang dan tidak diketahui kapan cacat tersebut terjadi. Maka para ulama ahli fikih memenangkan penjual dengan disertai sumpahnya atau keduanya berdamai menggagalkan transaksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ مَا يَقُولُ صَاحِبُ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ

Apabila dua orang yang bertransaksi jual beli dan tidak ada bukti (yang memenangkan salah satu pihak) maka yang dimenangkan adalah pernyataan penjual (pemilik barang) atau saling menggagalkan. [10]

CATATAN 
[1]. Master text book hlm 67
[2]. Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
[3]. HR Abu Dâud no. 3510 ; Ibnu Mâjah 2243 dan dihukumi sebagai hadits hasan oleh al-Albâni dalam al-Irwâ’ no. 1315 .
[4]. HR Ibnu Mâjah 2237 dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh al-Albâni dalam al-Irwâ’ no 1321
[5]. Master textbook hlm 78-79.
[6]. Al-Mulakhashul Fiqhi 2/27
[7]. Diadaptasi dari Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 80-95 dan al-Fiqhul Muyassar hlm 70
[8]. Master textbook hlm 84
[9]. Al-Mulakhashul Fiqhi 2/27
[10]. HR Ahmad 4214, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam al-Irwâ, no. 1322


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Social Buttons

Diberdayakan oleh Blogger.

Multimedia Updates

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah salah satu penggemar kulit kulit exotic. apa saja yang berhubungan dengan exotisme,atau yang berbau bau vintage atau yg kuno atau yang berbau bau antic saya suka

Follow Us on Facebook

Popular Posts

Popular Posts

Ads

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. bijaksana dalam financial - All Rights Reserved
Responsive by Mas Yadi Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger