Tidak disangsikan lagi, ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan
hubungan antar manusia, khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan
proses perpindahannya. Terkadang muncul rasa sesal karena tergesa-gesa
dalam melakukan transaksi atau membatalkannya. Untuk mengatasi timbulnya
penyesalan atau yang semisalnya ini, syariat Islam memberikan hak pilih
antara menggagalkan atau melangsungkan transaksi. Hak pilih ini dikenal
dengan al-khiyâr.
DEFINISI AL-KHIYAR (HAK PILIH)
Secara Etimologi, al-khiyâr bermakna memilih, menyisihkan dan mengayak.
Secara umum, al-khiyâr bermakna menentukan yang terbaik dari dua hal
(atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Karena jenis dan ragam al-Khiyâr begitu banyak, para ulama fikih
memiliki definisi yang beragam tentang al-Khiyâr ini. Namun, definisi
yang dipandang mewakili seluruhnya adalah hak yang dimiliki oleh orang
yang bertransaksi untuk memilih antara dua hal yang disukainya, antara
meneruskan transaksi atau membatalkannya, karena ada alasan syar’i atau
konsekuensi kesepakatan transaksi.[1]
HIKMAH PENSYARIATAN.[2]
Ada beberapa hikmah yang disampaikan ulama fikih dalam pensyariatan al-khiyâr, di antaranya :
1. Membuktikan dan mempertegas kerelaan dari kedua belah pihak. Oleh
sebab itu, syariat hanya menetapkan al-khiyâr dalam kondisi tertentu
saja, atau ketika salah satu pihak yang bertransaksi menegaskannya
sebagai persyaratan.
2. Memperkecil kelemahan transaksi sejak awal, karena informasi yang
tidak lengkap atau ada keraguan atau sejenisnya yang dikhawatirkan bisa
menyebabkan kerugian bagi para transaktor (pelaku transaksi).
3. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk meninjau ulang
transaksinya agar bisa mendapatkan kebaikan dan bisa mencapai tujuannya
dalam jual beli.
4. Memberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan berfikir ulang dengan
memberikan kesempatan untuk berkonsultasi dengan para ahli yang ia
percayai tentang kesesuaian harga dan barang. Sehingga ia tidak merasa
dibohongi atau dirugikan.
5. Memberikan kemudahan kepada pemilik harta dan menutup kesempatan
orang yang rakus, sehingga tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Yaitu
dengan memberi kesempatan untuk melihat dan memeriksa barang, serta
menimbang-nimbang kesesuaian harga dengan barangnya, agar para pelaku
transaksi benar-benar tahu dengan jelas, sehingga tidak menyesal setelah
melakukan transaksi tersebut.
6. Memberikan kesempatan kepada pelaku transaksi untuk membatalkan
transaksi apabila terjadi kesalahan atau karena pihak penjual tidak
bersedia memperbaiki cacat pada barangnya.
Demikian beberapa hikmah dari al-khiyâr yang disampaikan para ulama,
dengan tetap meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla pasti memiliki hikmah
yang agung dalam setiap syari'atNya. Diantara hikmah-hikmah ini ada yang
diketahui manusia dan sebagiannya lagi tidak diketahui dan menjadi
rahasia Allah Azza wa Jalla . Seyogyanya, ini semakin menjadikan para
hamba-Nya tunduk kepada-Nya.
MACAM-MACAM AL-KHIYAR (HAK PILIH)
Setelah melakukan penelitian, para ulama membagi al-khiyâr menjadi tujuh jenis[3] , yaitu:
1. Khiyâr al-majlis
2. Khiyâr asy-syarat
3. Khiyâr al-‘aib
4. Khiyâr at-tadlîs
5. Khiyâr al-ghabn
6. Khiyâr fî al-bai’ bi takhyîrits tsaman
7. Khiyâr li lkhtilâfil mutabâyi’ain
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. KHIYAR AL-MAJLIS (HAK PILIH DI LOKASI TRANSAKSI)
Khiyâr al-majlis berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata al-khiyâr
dan al-majlis. Kata al-majlis secara etimologi bahasa Arab bermakna
tempat duduk [4] . Yang dimaksud di sini adalah tempat transaksi
berlangsung, walaupun transaksinya tidak terjadi pada posisi di atas
tempat duduk. Pengertian majlis di sini tidak sekedar menyangkut lokasi
atau waktu, akan tetapi juga menyangkut keadaan pelaku transaksi. Selama
pembicaraan tentang transaksi jual beli tersebut bersambung, maka di
situ juga masih dikatakan berada di majlis. Dengan demikian pengertian
majlis disini mencakup tiga hal; tempat, waktu dan tema pembicaraan.[5]
Sedangkan para ulama fikih mendefinisikan khiyâr al-majlis sebagai
semacam hak pilih bagi kedua belah pihak yang bertransaksi untuk
membatalkan transaksi atau melanjutkannya sejak terjadi akad sampai
berpisah atau terjadi penawaran pilihan (at-Takhâyur).[6]
Dengan demikian khiyâr al-majlis adalah hak yang diberikan syariat
kepada pelaku transaksi untuk menggagalkan akad transaksi atau
melanjutkannya selama masih berada di majlis (lokasi).
Dengan dasar ini, transaksi tidak dianggap sempurna sampai pelaku
berpisah atau beranjak dari lokasi transaksi. Khiyâr al-majlis ini juga
dinamakan sebagian ulama dengan khiyâr al-mutabâyi’ain .
Dasar Pensayriatannya.
Al-Khiyâr jenis ini disyariatkan dengan dasar sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ حَتَّى
يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا
وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Jual beli itu dengan al-khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau
hingga keduanya berpisah. Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (aib
barang dagangannya-red) maka jual beli mereka mendapatkan barakah dan
bila keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli
mereka dihapus. [7]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِِدٍٍ مِِنْهُمَا بِالْخِيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا
الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ
تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا
الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang
memiliki hak pilih (al-khiyâr) selama belum berpisah atau salah seorang
telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika keduanya
bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli
ini sudah sempurna. Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang
darinya tidak menggagalkan jual beli maka akad jual beli ini juga sudah
sempurna.[8]
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menetapkan dengan gamblang hak pilih antara melanjutkan atau
menggagalkan transaksi selama belum berpisah.
Ketentuan Khiyâr al-Majlis.
Khiyâr al-majlis diberlakukan pada ketentuan sebagai berikut:
1. Khiyâr al-majlis berlaku pada transaksi yang bertujuan mencari
keuntungan (akad al-mu’âwadhah) seperti jual beli, perdamaian dalam jual
beli dan ijârah (sewa menyewa) dan yang sejenisnya.
2. Waktu berlakunya dimulai setelah ada ijab dan qabûl dan berakhir dengan perpisahan.
3. Waktu maksimalnya tidak dapat diatasi oleh satu waktu tertentu, sebab
ini berpijak pada kehendak para pelaku. Waktunya bisa jadi lama, jika
pelaku ingin memberikan kesempatan yang panjang. Bila ingin mempercepat,
maka salah seorang pelaku bisa memberikan pilihan kepada yang lainnya
untuk segera menentukan atau keduanya segera berpisah dari majlis
tersebut.
Batas Akhir Khiyâr al-Majlis.
Khiyâr al-majlis berakhir dengan salah satu dari tiga hal:
1. Berpisah badan atau ada tanda yang menunjukkan perpisahan dari majlis
transaksi. Ini telah disepakati oleh para ulama fikih yang mengakui
khiyâr al-majlis. Karena jika telah berpisah berarti keduanya telah
menuntaskan transaksi sesuai kesepakatan, jadi atau tidak.
2. Saling menawarkan pilihan dalam majlis transaksi. Misalnya, salah
seorang mengatakan kepada yang lainnya, “Apakah Anda memilih
menggagalkan transaksi atau melanjutkannya ?” Apabila memilih
melanjutkan, berarti teransaksi itu terjadi dan selesai, namun bila
memilih gagal, maka transaksi itu gagal dan masa Khiyâr al-majlis telah
berakhir.
3. Salah seorang dari pelaku transaksi membatalkan atau membiarkan transaksi tersebut hingga berpisah.
Ketiga hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi:
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ
فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا
بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ
فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, maka setiap orang
memiliki hak pilih (al-khiyâr) selama belum berpisah atau salah seorang
telah memberikan hak pilih kepada yang lainnya lalu jika keduanya
bertransaksi jual beli dengan kesepakatan ini, maka transaksi jual beli
ini sudah sempurna. Apabila berpisah setelah transaksi dan salah seorang
darinya tidak menggagalkan jual beli maka akad jual beli ini juga sudah
sempurna. [9]
2. KHIYAR ASY-SYARTH (HAK PILIH DALAM PERSYARATAN)
Khiyâr asy-syarth adalah hak pilih karena persyaratan yang diminta oleh
salah satu dari dua pihak yang bertransaksi, atau diminta masing-masing
pihak untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain agar diberikan hak
memilih antara melanjutkan atau menggagalkan transaksi dalam jangka
waktu tertentu.
Sebagai contoh, seorang penjual berkata kepada pembeli, “Saya akan
menjual mobil saya dengan US$ 100.000;”. Lalu pembeli menjawab, “Saya
setuju dengan syarat diberi hak pilih selama dua hari”. Syarat yang
diajukan pembeli di sini untuk minta kesempatan berfikir dan
memilih-milih selama waktu tertentu itu. Ini dinamakan Khiyâr
asy-syarth.[10]
Dasar Pensyariatannya
Dasar syari'at hak pilih jenis ini adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَجُلاً ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوْعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ
لاَخِلاَبَةَ
Seorang menyampaikan kepada Nabi n bahwa ia tertipu dalam jual beli.
Maka beliau menjawab, "Kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah: "Tidak
ada hak merampas.”[11]
Demikian juga keumuman firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu [al-Mâidah/5:1]
dan Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُرُوْطِهِمْ
Kaum Muslimin ada pada syarat-syarat mereka.[12]
Dari sisi lain, terkadang hak pilih semacam ini memang amat dibutuhkan,
terutama ketika belum memiliki pengalaman niaga yang cukup dan perlu
bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya.
Ketentuan Khiyâr al-Majlis.
Di antara ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan khiyâr ini adalah:
1. Para Ulama berbeda pendapat tentang masa tenggang untuk memutuskan
pilihan tersebut. Di antara ulama ada yang membatasi tiga hari saja,
sementara ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung
kebutuhan. Yang râjih dalam masalah masa tenggang ini diserahkan kepada
kedua pihak yang bertransaksi tanpa ada batasan waktu tertentu. Namun,
tentunya jangan sampai terlalu lama melebihi kebiasaan yang telah
berlaku.
2. Sah melakukan persyaratan minta tenggang waktu tertentu walaupun lama.
3. Waktu berlakunya khiyar asy-syarth dimulai sejak transaksi hingga
selesai masa tenggang yang disepakati. Apabila telah berlalu masa
tenggang tersebut dan belum ada penggagalan transaksi maka transaksi
dianggap sempurna dan telah terjadi. Apabila di masa tenggang tersebut
salah satu pihak menggagalkan transaksi, maka itu boleh, karena itu
adalah hak kedua belah pihak.
4. Harus ada pembatasan khiyâr dalam waktu tertentu yang baku dan dapat dipastikan.
5. Tidak diperbolehkan memberikan persyaratan masa tenggang melebihi
masa kadaluarsa barang, karena akan merugikan salah satu pihak. Misalnya
meminta tenggang waktu pembelian buah-buahan yang hanya bertahan
sepekan dengan persyaratan minta tenggang waktu 10 hari
6. Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai transaksi permanen yang bisa dibatalkan.
Masa Khiyâr asy-Syarth Berakhir.
Masa khiyâr asy-syarth berakhir dengan beberapa sebab di antaranya:
1. Keputusan melanjutkan transaksi atau membatalkannya.
2. Masa tenggang telah habis tanpa ada keputusan untuk membatalkan transaksi
3. Barang yang ditrasnsaksikan hilang atau rusak.
3. KHIYAR ‘AIB
Diantara hak pilih yang diakui bagi masing-masing pihak yang
bertransaksi adalah khiyâr aib. Dimana salah satu transaktor dapat
menggagalkan transaksi bila tersingkap adanya cacat pada objek transaksi
yang sebelumnya tidak diketahui.
Ulama pakar fikih mendefiniskannya dengan hak syar’i yang ditetapkan
dengan segala konsekwensinya untuk pembeli dalam menyempurnakan atau
menggagalkan transaksi apabila mendapatkan barang memiliki aib dan rusak
yang belum diketahui sebelumnya ketika waktu transaksi.[1]
Pof. DR Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan – hafizhahullâh –lebih jelas
menyatakan: Khiyâr aib adalah hak pilih yang diberikan kepada pembeli
dengan sebab aib atau cacat pada barang yang tidak diberitahukan oleh
penjual atau penjual belum mengetahuinya dan ada indikasi yang
menunjukkan bahwa cacat itu ada sejak sebelum dijual.[2]
Hikmah Pensyariatannya
Hikmah disyariatkan hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena para
pelaku teransaksi akan melangsungkan transaksinya dengan rela hati jika
dia yakin objek transaksinya tidak cacat. Cacat yang tersingkap
dikemudian hari jelas akan merusak kerelaannya terhadap transaksi yang
sudah terjadi. Oleh sebab itu disyariatkan khiyâr 'aib (hak pilih antara
melanjutkan atau membatalkan transaksi karena ada cacat pada objek
transaksi). Sehingga problem ketidakrelaan terhadap keberlangsungan
suatu transaksi akibat cacat pada objek transaksi bisa diatasi.
Cacat yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa
mengurangi nilai barang itu di kalangan para pedagang. Yang menjadi
barometer di sini adalah orang-orang yang berpengalaman di bidang
perniagaan barang itu sendiri. Juga disyaratkan, cacat itu sudah ada
sebelum serah terima sementara orang yang bertransaksi tidak
mengetahuinya. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara aksiomatik.
Khiyâr 'aib (hak pilih karena cacat) ini memberikan hak kepada orang
yang bertransaksi untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama
masih mungkin. Kalau transaksi itu sudah tidak mungkin lagi dibatalkan
karena objek transaksinya sudah bertambah atau berkurang sebelum
diketahui cacatnya, maka pihak yang dirugikan berhak mendapatkan
kompensasi atau ganti rugi senilai dengan pengurangan harga barang
akibat cacat itu.
Kalau orang yang mendapati cacat itu tetap rela, baik secara terus
terang dia mengungkapkan kerelaannya atau ada indikasi kesana, maka
otomatis hak pilih ini gugur.
Hukum Pensyariatannya
Para ahli fikih sepakat tentang tidak bolehnya seseorang menjual barang
miliknya yang cacat dengan cara menutupi cacat yang sudah dia ketahui,
tanpa memberitahukannya kepada pembeli. Ini sering terjadi di
masyarakat. Seorang pembeli akan memilih barang yang tidak cacat dan
penjual harus menjelaskan cacat tersebut apabila ada pada barangnya.
Apabila terbukti barang tersebut cacat maka syariat memberikan hak pilih
(khiyâr) kepada pembeli untuk mengembalikan barang itu dan menggagalkan
transaksinya. Ini berdasarkan beberapa dalil dari al-Qur`ân dan
as-Sunnah. Diantaranya,
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ`/4:29].
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyatakan syarat sah jual beli itu
adalah dilakukan dengan dasar suka sama suka dari kedua transaktor. Rasa
suka ini muncul kalau apa yang dibelinya itu sesuai dengan asumsinya
yaitu bagus tanpa cacat. Kalau dikemudian hari, dia menemukan cacat
tanpa pemberitahuan sebelumnya dari pihak penjual, tentu hal ini akan
merusak sikap suka sama suka tersebut. Oleh karena itu, khiyâr 'aib ini
disyari'atkan. Dan si penjual jika hendak menjual barang yang ada
cacatnya, diharuskan untuk menjelaskannya.
2. Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Ibnu Mâjah dari sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى عَبْدًا فَاسْتَغَلَّهُ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا
فَرَدَّهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ
Seorang membeli seorang budak lalu ia menggunakan budak itu. Kemudian
dia mendapatkan aib pada budak tersebut, lalu ia mengembalikannya.
Penjual berkata : 'Wahai Rasulullah ! Ia telah mempergunakan budakku
tersebut'. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
'Manfaat berbanding dengan resiko'.[3]
3. Hadits dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ
بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
'Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak halal bagi seorang
muslim menjual barang yang cacat kepada saudaranya kecuali telah ia
jelaskan.[4]
Demikianlah sebagian dasar penetapan khiyâr 'aib. Timbul pertanyaan,
apakah khiyâr 'aib itu berlaku pada setiap 'aib atau cacat ?
Kriteria Aib Atau Cacat Dalam Barang
Khiyâr 'aib tidak berlaku pada semua kerusakan atau aib. Para ulama
menjelaskan kriteria aib (cacat) yang menimbulkan khiyâr 'aib ini yaitu
semua cacat yang mengurangi minat pembeli terhadap barang tersebut atau
mengurangi nilai barang atau semua cacat yang biasanya tidak ada pada
jenis barang itu. [5]
Prof. DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –Hafizhahullâhu –
menyatakan : "Kriteria 'aib atau cacat yang dapat menimbulkan khiyâr
adalah semua cacat yang dipandang umum dapat menyebabkan nilai barang
berkurang atau mengurangi materi atau volume barang tersebut. Untuk
mengetahuinya harus meruju' kepada kebiasaan para pedagang yang sudah
mu’tabar (kredibel). Semua yang mereka anggap 'aib maka ada khiyârnya
dan yang tidak mereka anggap aib yang mengurangi nilai atau dzat barang
tersebut, maka tidak dianggap 'aib.[6]
Syarat Dan Penghalang Pengembalian Barang Cacat.[7]
Dalam memberlakukan khiyâr 'aib ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Diantaranya :
1. Cacat itu ada ketika jual beli atau setelah akad sebelum serah terima
barang berlangsung. Apabila cacat atau aib itu timbul setelah serah
terima barang maka khiyâr ini tidak berlaku. Seorang yang membeli barang
kemudian dia melihat aibnya sebelum serah terima barang maka pembeli
memiliki hak khiyâr ini, baik cacat tersebut timbul sebelum transaksi
atau sesudahnya. Apabila cacat itu timbul setelah barang berpindah ke
tangan pembeli maka si pembeli tidak memiliki khiyâr 'aib ini.
2. Cacat atau aib tersebut mempengaruhi nilai barang, sebagaimana penjelasan diatas.
3. Pembeli tidak mengetahui cacat itu ketika akad atau ketika serah
terima barang. Apabila pembeli telah mengetahui cacat atau aib tersebut
sebelumnya dan tetap melanjutkan transaksinya maka dianggap rela dengan
kondisi barang itu. Dengan demikian, khiyâr aib ini tidak berlaku lagi.
4. Cacat itu tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan bersusah payah.
5. Cacat itu masih ada ketika transaksi digagalkan. Misalnya seorang
membeli kambing kemudian ketahuan kambing tersebut sakit. Namun ketika
transaksi ini hendak digagalkan ternyata kambing itu sehat lagi. Apabila
demikian, maka khiyâr aib tidak diberlakukan.
Dari sini dapat diketahui beberapa faktor yang menghalangi pengembalian
barang cacat, sehingga barang tidak bisa dilakukan. Diantara penghalang
itu adalah :
1. Si pembeli rela menerima barang cacat itu apa adanya setelah mengetahuinya.
2. Pembeli tidak menggunakan hak pilih (khiyâr) ini
3. Barang yang cacat itu hilang
4. Pertambahan barang setelah berada ditangan pembeli. Pertambahan ini
terpisah dari barang itu sendiri. Misalnya, seseorang membeli kambing
lalu terlihat ada cacat pada kambing itu. Namun sebelum sempat
dikembalikan, kambing itu melahirkan. Anak kambing tersebut adalah
tambahan yang terpisah dari induknya yang bisa menjadi barang yang
diperjual belikan. Pada keadaan seperti ini tidak diberlakukan khiyâr
aib.
Waktu Khiyâr Aib
Para ulama ahli fikih sepakat bahwa tidak ada waktu tertentu untuk
mengembalikan barang yang cacat. Karena cacat pada barang itu
tersembunyi, maka kapan saja cacat itu terlihat dan terbukti maka barang
itu boleh dikembalikan atau transaksi itu boleh digagalkan.[8]
Konsekuensi khiyâr aib
Apabila seorang pembeli mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya,
maka dia dapat menggunakan hak pilih (khiyâr) ini dengan tiga pilihan :
1. Mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang yang telah dibayarkannya
2. Melanjutkan transaksi dengan tidak mengembalikan barangnya
3. Meminta kompensasi (arsy al-‘aib) dengan cara membandingkan harga
barang yang bagus tanpa cacat dengan harganya bila cacat. Selisih harga
inilah yang mejadi hak si pembeli sebagai konpensasi cacat pada barang
yang dibelinya.
Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –hafizhahullâh- menjelaskan :
"Apabila pembeli mengetahui aib atau cacat setelah transaksi, maka ia
memiliki khiyâr (berhak memilih) antara melanjutkan transaksi dan
mengambil ganti rugi cacat barang, yaitu senilai selisih antara nilai
barang tanpa aib dengan yang ada aibnya. Boleh juga menggagalkan
transaksi dan mengembalikan barangnya dengan meminta kembali uang yang
telah dia bayarkan."[9]
Dalam masalah pengembalian barang yang cacat para ulama ahli fikih (al-fuqahâ) memisahkan permasalahan ini dalam dua keadaan:
1. Apabila cacat diketahui oleh pembeli sebelum serah terima, maka para
ulama ahli fikih (al-fuqahâ) sepakat bahwa pembatalan transaksi cukup
dengan ucapan si pembeli, tanpa menunggu keputusan pengadilan atau
saling suka sama suka (tarâdhi) kedua belah pihak.
2. Apabila diketahui setelah selesai serah terima barang, maka para
ulama ahli fikih berselisih pendapat menjadi dua madzhab. Yang râjih
–wallâhu a’lam- tidak boleh ada pengembalian barang kecuali setelah ada
keputusan dari peradilan atau suka sama suka (tarâdhi).
Bila Terjadi Perselisihan Antara Pembeli Dengan Penjual
Bila terjadi perbedaan antara penjual dengan pembeli tentang waktu
timbulnya cacat pada barang, apakah terjadi sebelum dibeli ataukah
terjadi akibat kesalahan pembeli, seperti seorang membeli kambing dan
setelah sehari kemudian pembeli mengklaim kambingnya pincang dan tidak
diketahui kapan cacat tersebut terjadi. Maka para ulama ahli fikih
memenangkan penjual dengan disertai sumpahnya atau keduanya berdamai
menggagalkan transaksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ مَا يَقُولُ صَاحِبُ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ
Apabila dua orang yang bertransaksi jual beli dan tidak ada bukti (yang
memenangkan salah satu pihak) maka yang dimenangkan adalah pernyataan
penjual (pemilik barang) atau saling menggagalkan. [10]
CATATAN
[1]. Master text book hlm 67
[2]. Al-Mulakhash al-Fiqh 2/27
[3]. HR Abu Dâud no. 3510 ; Ibnu Mâjah 2243 dan dihukumi sebagai hadits hasan oleh al-Albâni dalam al-Irwâ’ no. 1315 .
[4]. HR Ibnu Mâjah 2237 dan dihukumi sebagai hadits shahih oleh al-Albâni dalam al-Irwâ’ no 1321
[5]. Master textbook hlm 78-79.
[6]. Al-Mulakhashul Fiqhi 2/27
[7]. Diadaptasi dari Master Texs book GFIQ 5173, MEDIU hlm 80-95 dan al-Fiqhul Muyassar hlm 70
[8]. Master textbook hlm 84
[9]. Al-Mulakhashul Fiqhi 2/27
[10]. HR Ahmad 4214, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam al-Irwâ, no. 1322
Home »
» FIQH JUAL BELI.....AL KHIYAR
FIQH JUAL BELI.....AL KHIYAR
Written By phyton.id on Rabu, 03 Juli 2013 | 00.22
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar