UNTUNG SEGUNUNG?...WHY NOT?
buat para pedagang,seperti halnya penulis,pasti anda menginginkan keuntungan besar. Bahkan, jika bisa, dengan
modal sedikit atau hanya berbekal pakaian yang melekat di badan, Anda
berharap bisa mengeruk untung segunung ? Istana megah, kendaraan mewah
dan uang melimpah, impian yang ingin segera diwujudkan. Tapi, saudaraku,
pernahkah Anda bertanya, "Halalkah keuntungan yang berlipat ganda itu?"
Dua Prinsip Dasar Perniagaan:
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui dua
prinsip dasar perniagan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.
Prinsip Pertama : Asas Suka Sama Suka
Islam yang anda cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya.
Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita
tanpa kerelaannya -walau sekedar bercanda -,.
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًا ولاَ جَادًّا
وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu,
dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau
terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera
mengembalikannya. [HR Ahmad, 4/221]
Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [an Nisâ'/4:29]
.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan
jiwanya. [HR Ahmad, dan dishahihkah oleh al-Albâni rahimahullah dalam
Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb no:839]
Dan pada hadits lain beliau slebih tegas lagi bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa
suka sama suka. [HR. Ibnu Mâjah dan dinyatakan shahih oleh
al-Albâni].[1]
Dalam riwayat lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ
Janganlah dua orang yang berjual-beli berpisah ketika mengadakan
perniagaan kecuali atas dasar suka-sama suka. [HR. Ahmad dan dinyatakan
shahih oleh al-Albâni rahimahullah][2] .
Betapa kacau kehidupan manusia bila mereka bebas membeli harta sesama,
tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis,
permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan ini, para Ulama’ menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.
Prinsip Kedua : Tidak Merugikan Orang Lain.
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa
penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allâh
berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah
bersaudara." [Al- Hujurât/49:10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya juga
menegaskan hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan
bahu-membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh
yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah
tidur dan demam. [HR. Muslim, no. 2586]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "Hadits ini dengan tegas dan jelas
menunjukkan betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga
merupakan anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah-lembut
dan membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau
hal-hal yang dibenci."[3]
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا
وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ
إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
وَلَا يَحْقِرُهُ
Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang
(padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan
kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah
hamba-hamba Allâh yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara
muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, tidak pula ia
membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina
saudaranya.[HR. Bukhâri, no. 5717 dan Muslim, no. 2558]
Dengan dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama' ahli fiqih
mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan
orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum, baik kerugian dalam urusan
agama atau urusan dunia.
Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha ?
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh
direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya,
ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas
menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari
dalil-dalil tersebut :
Dalil pertama:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ
شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ
فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ
لَرَبِحَ فِيهِ
Dari Urwah al Bariqi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli
seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor
kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar.
Selanjutnya dia datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada
perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya
ia mendapatkan laba darinya. [HR. Bukhâri, no. 3443]
Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu anhu dengan modal satu dinar,
ia mendapatkan untung satu dinar atau 100 %. Pengambilan untung sebesar
100% ini mendapat restu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan
bukan hanya merestui, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdo'a agar perniagaan sahabat Urwah Radhiyallahu anhu senantiasa
diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Radhiyallahu anhu semakin lihai
berniaga.
Dalil kedua:
Berbagai dalil-dalil yang telah saya kemukakan pada prinsip pertama juga
bisa dijadikan dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah
secara sah memiliki barang dagangannya, maka tidak ada alasan untuk
memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.
Dalil ketiga :
Sahabat Rasûlullâh, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa
para sahabat mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
"Wahai Rasûlullâh, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau
membuat ketentuan harga jual !" Menanggapi permintaan ini, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ
وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Sesungguhnya Allâh-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang
menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap
untuk menghadap kepada Allâh dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan
satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan.
[HR Abu Dâwud, no.3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh
syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab Misykâtul Mashâbîh, no. 2894]
Saudaraku! Coba anda cemati alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat
nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam
menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan
besaran keuntungan yang ia inginkan.
Catatan Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki,
akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua
prinsip niaga di atas. Karenanya, para Ulama’ ahli Fikih menegaskan
bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam
meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam
menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua
prinsip di atas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak
terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi
kedua prinsip di atas :
1. Monopoli
Sebagian pedagang menimbum barang demi menuruti ambisi mengeruk
keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka di pasaran.
Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya, guna
mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu
meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara
semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa [HR. Muslim, no. 1605]
Penimbunan barang bertentangan dengan kedua prinsip yang telah
dipaparkan di atas, sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan.
Masyarakat pasti tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini
dan juga meresahkan mereka.
2. Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah,
sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon
konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya
telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal
semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras
dengan syariat Islam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى
سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ
وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ
بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُولُ
اللَّهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ
تَعْمَلْ يَدَاكَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, "Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara
dan tidak akan dilihat oleh Allâh pada hari qiamat yaitu (pertama) orang
yang bersumpah atas barang dagangannya, 'Sungguh tadi ada yang mau beli
dengan harga yang lebih mahal', padahal ia dusta, dan (kedua) orang
yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas
harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan
kelebihan air (yang ada di sumurnya), dan kelak Allâh Subhanahu wa
Ta’ala akan berfirman: Pada hari ini aku akan menghalangimu dari
keutamaan/ kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi
kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu." [HR.
Bukhâri, no. 2240, Muslim, no. 108]
Diantara trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang
atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram.
Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Kecelakaan besar bagi
orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
[Al-Muthaffifîn/83:1-3]
3. Pemalsuan Barang.
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan
ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang
baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan
mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada
perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا
فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ
قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا
جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ
مِنِّي
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan,
kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersebut,
lalu jari-jemari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sesuatu
yang basah, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa ini
? Wahai pemilik bahan makanan." Ia menjawab, 'Terkena hujan, Wahai
Rasûlullâh!' Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa
engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh
orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku." [HR
Muslim, no. 102]
Saya percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga
tidak sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil
keuntungan materi.
Penutup :
Saudaraku! Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap
pedagang, akan tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara.
Cita-cita ini mesti diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda
sebagai seorang muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan
anda, sehingga lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu,
sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan
sia-sia. Semua akhlaq mulia, pasti mendapatkan balasan setimpal dari
Allâh Azza wa Jalla . Semoga kisah berikut cukup memotifasi anda untuk
bersikap mulia, dan tidak hanyut dalam ambisi mengeruk keuntungan dunia.
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُتِيَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ
آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ
وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ
فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ
أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ اللَّهُ
أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي
Sahabat Huzaifah Radhiyallahu anhu menuturkan, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam besabda, "(pada hari qiamat kelak) Allâh mendatangkan
salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian
Allâh bertanya kepadanya, 'Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan
mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allâh suatu kejadian)[4] Iapun
menjawab, 'Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta
kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku
(akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan. Aku meringankan (tagihan) orang
yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.
Kemudian Allâh berfirman, 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada
engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." [HR Bukhari, no. 1971 dan Muslim,
no. 1560]
Mudahkanlah saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya
dan tidak memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen.
Percayalah, kekayaan dan kabahagian hidup yang anda dambakan dengan
keuntungan melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan
singkat ini bermanfaat,
Footnote
[1]. Sunan Ibnu Mâjah, no. 2185 dan Irwâul Ghalîl, no. 1283
[2]. Musnad Imam Ahmad 2/536 dan Irwâul Ghalîl, no. 1283
[3]. Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi 16/139.
[4]. an-Nisâ/4:42.
Home »
» FIQH JUAL BELI:TIDAK ADA BATASAN DALAM ISLAM DALAM MENGAMBIL KEUNTUNGAN PERDAGANGAN
FIQH JUAL BELI:TIDAK ADA BATASAN DALAM ISLAM DALAM MENGAMBIL KEUNTUNGAN PERDAGANGAN
Written By phyton.id on Rabu, 03 Juli 2013 | 00.12
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar