Bahasan mengenai hal ini akan terasa panjang,
terus terang penulis merasa geram atas ulah ahlul bid'ah yg tidak terima diajak ke jalan islam yg lurus dan murni seperti yg dibawa oleh Rasulullah salallah alaihi Wassalam dan diterjemahkan oleh para sahabat beliau.
sebuah kritikan utk buku" i'tiqad ahlu sunnah wal jamaah" karya KH Sirrajuddin Abbas.
Siapa tidak mengenal nama lbnu Taimiyyah, seorang tokoh ulama yang telah
berjuang untuk Islam dengan lidah dan pedangnya. Keharuman namanya
semerbak dikenang generasi selanjutnya. Hampir-hampir sejarah Islam
tidak pernah melupakan nama beliau sekaligus karangan-karangannya yang
menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Semua kalangan mengakui keilmuan beliau, baik kawan maupun lawan. Hal
itu tidak lain kecuali disebabkan kecerdasan dan keenceran otaknya,
keluasan ilmunya, kejeliannya dan kehebatannya, sehingga beliau mampu
mengungguli para pembesar ulama lainnya. ini semua tidak dapat
dipungkiri kecuali oleh segelintir manusia yang bodoh dan jahil. Mereka
tidaklah berdiri di atas hujjah, melainkan hanya kerancuan, yang mereka
sendiripun tidak mengetahui isi dan maksud perkataan mereka. Tetapi yang
penting, mereka sebarkan dan tebarkan begitu saja dengan kejahilan dan
kesesatan yang keterlaluan. Sungguh mereka amat jauh dari ilmu dan
keadilan [1]
Memang sebagal tokoh ulama sepertinya sangatlah wajar bila mendapatkan
tuduhan dan celaan, sebagaimana panutannya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang tabah menerima berbagai celaan di dalam menegakkan al-haq.
Syaikh Masyhur bin Hasan Salman mengatakan: “Para pencela Syaikhul Islam
lbnu Taimiyyah sangat banyak sekali. Nenek moyang mereka sangatlah
populer bagi orang yang mau membaca kitab-kitab para ulama kita. Dan
bibit merekapun telah berkembang di sekitar kita sekarang ini. Mereka
tidak membicarakan selain celaan kepada Ibnu Taimiyyah beserta
orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan para sahabat, tabiin
serta orang-orang yang berjalan di atas petunjuk mereka.
Sesungguhnya penyebab permusuhan yang mereka lancarkan hanyalah karena
aqidah yang shahih. Yaitu, ketika mereka tidak sanggup berhadapan
langsung dengan al-haq, merekapun mengganggap bahwa dengan mencela
tokoh-tokoh pembela kebenaran lebih mudah untuk melunturkan al-haq itu
sendiri.
Hal tersebut telah mereka lakukan dengan berbagai cara di setiap tempat
dan kesempatan baik melalui pernyebaran kitab, tulisan, kedustaan maupun
tuduhan” [2]
Salah satu contoh buku yang berisi tuduhan dan celaan terhadap syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah adalah buku “Aqidab Ahlus Sunnah Wal Jamaah” karya
KH Sirajuddin Abbas [3]. Keberaniannya menuduh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah sangat mengejutkan kita. Lebih mengejutkan lagi, penulis
tersebut seringkali meminjam nama “Ahlus Sunnab Wal Jama’ah” bukan pada
tempatnya, oleh karena itu sangatlah baik sekali sebelum memasuki
pambahasan, kami kutipkan terlebih dahulu pengertian Ahlus Sunnah wal
Jama’aah yang sebenarnya. Sebab banyak sekali orang maupun golongan
mengakuinya padahal amalan-amalan mereka jelas bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al Fashl fil Milal Wa Nihal”
2/271: “Yang dimaksud Ahlus Sunnah adalab Ahlul haq dari kalangan para
sahabat, dan setiap orang yang menempuh jalan mereka dari kalangan para
tabi’in, ahlul hadits dan para fuqaha dari generasi ke generasi hingga
pada zaman kita ini. Demikian pula orang-orang awam yang mengikuti
mereka, baik di belahan timur maupun barat semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala merahmati mereka semuanya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata menerangkan definisi Ahlus
Sunnah dalam Majmu’ Fatawa” 3/375 : “Mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta apa yang menjadi
kesepakatan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Beliau juga berkata dalam “Majmu’ Fatawa 3/346: “Barang siapa yang
berkata dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan ijma’ salaf maka dialah Ahlus
Sunnah.”
Pada kesempatan ini kami akan mencoba menyingkap kedustaan-kedustaan
yang terdapat dalam kitab “I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’aah” karya KH.
Sirajuddin Abbas hal 270-307 pada judul: Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah, yang
bertentangan dengan fatwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi orang-orang yang berakal, orang-orang
yang jauh dari sifat menolak kebenaran, dan jauh pula dari sifat yang
dikisahkan Allah dalam kitab-Nya:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِم مُّهْتَدُونَ
Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat
petunjuk. [Az Zukhruf :22]
PASAL I
MADZHAB IBNU TAIMIYAH DALAM ISTIWA’
Hal 270 : “Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas
arsy serupa dengan duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini
beberapa kali diulanginya di atas mimbar masjid Bani Umayah di Damsyik
Syiria dan di Mesir”
Jawaban : “PenuIis fidak menerangkan sumber riwayatnya, sehingga kita
bertanya-tanya: “Dari manakah penulis menukil perkataan itu?” Di kitab
apa dan siapa pengarangnya?! Semua pertanyaan, itu selalu
terngiang-ngiang di telinga kita yang tentunya membutuhkan jawaban.
Kami katakan: “Maha suci Allah dari apa yang dituduhkan!! Sesungguhnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat jauh dari tuduhan seperti ini.
Bagaimana tidak? Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik!
lalu bandingkan dengan tuduhan penulis ini. Beliau berkata: “Demikian
juga apabila ada seorang yang menjadikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa
Ta'ala serupa dengan sifat makhluk-Nya, Seperti mengatakan istiwa’ Allah
Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan istiwa’ makhluk-Nva atau turunnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan turunnya makhluk, Maka orang ini
mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Karena Al Qur’an dan
As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan
makhluk-Nya dalam segala segi” [4]
Lihatlah wahai saudaraku alangkah jelasnya perkataan yang bagus ini!
Hal 270 : “Jadi Ibnu Taimiyyah boleh digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu
kaum yang mengartikan ayat.ayat Al Qur’an dan hadits nabi secara
lahirnya saja”.
Jawaban : “Ya, boleh-boleh saja tuan golongkan lbnu Taimiyyah kepada
kaum Dhahiriyyah. Tapi apakah Ibnu Taimiyyah salah dan sesat karena dia
termasuk kaum Dhahiriyyah? jika tuan menyalahkan Ibnu Taimiyyah karena
dia mengartikan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahirnya saja, maka
tuan juga harus menyalahkan ulama-ulama salaf pendahulu lbnu Taimiyyah
yang telah sepakat mengartikan ayat-ayat dan hadits tentang sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala secara lahirnya. Kami nukilkan di sini dua penukilan
saja:
1. Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Malik bin
Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits masalah
sifat? Mereka semuanya mengatakan kepadaku: “Jalankanlah sebagaimana
datangnya tanpa tak’yif (menggambarkan bagaimananya/bentuknya)” [5]
2. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata: “Seluruh Ahlus Sunnah telah
bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak
menggambarkan bagaimananya/bentuknya sifat-sifat tersebut. Adapun
Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya
mereka menyangka bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk” [6]
Cukuplah dua nukilan ini saja, kalau kami turunkan seluruh perkataan
salaf dalam masalah ini maka akan terlalu panjang. Inilah pendahulu lbnu
Taimiyyah yaitu ulama-ulama salaf ahlu As Sunnah wal jamaah, lalu
siapakah pendahulumu wahai tuan? Tunjukkan siapa Ahlus Sunnah yang tidak
mengartikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala secara dhahirnya!.
Hal, 271 : “Ulama-ulama salaf menyerahkan arti yang hakiki dari
perkataan istiwa’ itu kepada Allah, memang dalam bahasa arab istiwa’
artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat istiwa’ lebih baik dan lebih aman
bagi kita, tidak diartikan, hanya diserahkan artinya kepada Tuhan sambil
kita i’tiqadkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk”.
Jawaban : Perkataan ini merupakan kedustaan dan kebohongan nyata atas
nama ulama-ulama salaf, Siapa salaf yang mempunyai pemikiran seperti
ini? Apakah mereka sahabat Rasulullah ? Apakah mereka para Tabi’in?
Apakah mereka para ahli hadits seperti Bukhari, Muslim dan lainnya?
Tidakkah tuan tahu jika pemikiran seperti ini adalah pemikiran kaum
Mufawwidhah, kelompok ahlu bid’ah yang sangat keji? Pemikiran ini telah
dibantah habis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata: “Pendapat Tafwid ini merupakan celaan terhadap Al Qur’an
dan para Nabi. Karena Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia, dan Allah juga memerintahkan para Rasul-Nya agar menyampaikan
dan menerangkan wahyu, lantas tidak seorangpun mengetahui artinya?!.
Lalu bagaimana seseorang akan merenungi Al-Quran yang diturunkan sebagai
petunjuk?
Kalau pendapat ini diterima, maka setiap mubtadi’ (ahli bid’ah)akan
bebas menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang diketahui pikiran dan
akal kita masing-masing. Pemikiran ini merupakan penutup petunjuk ilahi
dan pembuka pintu bagi para penyeleweng untuk mengatakan: “Sesungguhnya
petunjuk itu ada pada jalan kami, bukan pada jalan para nabi, karena
kami mengerti apa yang kami katakan sedangkan para nabi tidak mengerti
apa yang mereka katakan”. Dan sini, jelaslah bahwa perkataan Ahlu tafwid
(orang yang berfaham tafwid) yang mengaku mengikuti As-Sunnah dan salaf
termasuk perkataan ahlu bid’ah yang sangat keji” [7]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menukil perkataan beliau ini
dalam kitabnya “Al Qawaidul Al Mutsla fi Asma Al Husna” hal 43-44, lalu
mengomentari sebagai berikut: “Ini merupakan perkataan yang sangat bagus
sekali, keluar dari pikiran yang cerdas. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala merahmatinya dengan seluas-luasnya serta mengumpulkan kita semua
di surga-Nya”.
Hal 271 : “Ulama khalaf menta’wilkan kata istawa’ itu dengan istaula yakni menguasai atau memerintah”
Jawaban : Sungguh amat jauh penyimpangan penulis ini!!! Karena
jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman salafus shaleh. Kami tidak
ingin memperpanjang bantahan syubhat ini, karena masih banyak lagi
syubhat yang masih perlu dijawab.
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah telah membantah secara panjang lebar dalam
“Maj’mu Fatawa” 5/144-149, demikian juga Ibnu Qayyim, muridnya, di
dalam Mukhtashar Shawa’iqul Al Mursalah” hal 353-366. Kami cukupkan di
sini dengan tiga point saja.
1. Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari kalangan
sahabat maupun tabi’in. Tidak ada seorangpun dari mereka yang
menafsirkan seperti penafsiran ini, bahkan orang pertama kali yang
menafsirkan istawa’ dengan istaula adalah sebagian kaum Jahmiyyah dan
Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam
bukunya “Al Maqalat” dan Al Ibanah” [8]
2. Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dan
menyelisihi penafsiran Salaf As shaleh, mengharuskankan dua perkara,
yaitu: entah dia yang salah, atau Salaf As-shaleh yang salah. Seorang
yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa penafsiran baru yang
menyelisihi Salaf As-shaleh ini yang pasti salah [9].
3. Tidak ada di dalam bahasa arab kalau kata istawa’ berarti istaula,
bahkan hal ini diingkari oleh pakar bahasa yaitu Ibnu ‘A’rabi [10]
Orang-orang yang menta’wil istawa’ dengan istaula tidak mempunyai hujah kecuali suatu bait syair terkenal [11]
ثُمَّ اسْتَوَى بِشْرٌ علَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مُهْرَاقٍ
“Kemudian Bisyr menguasai Irak tanpa pedang dan tanpa pertumpahan darah”
Padahal tidak ada penukilan yang sangat jelas bahwa bait ini termasuk
bait syair arab. Oleh karena itu para pakar bahasa mengingkari bait ini
seraya mengatakan: “Ini adalah bait yang dibuat-buat, tidak dijumpai
dalam bahasa”.
Bukankah kalau seorang hendak berhujjah dengan hadits, ia harus
mengetahui lebih dahulu keabsahan hadits tersebut? Maka bagaimana dengan
bait syair yang tidak diketahui sanadnya ini !!! [12]
Hal, 271 : “Karena itu Ibnu Taimiyyah bukanlah pengikut ulama’-ulama
salaf dan juga ulama’-ulama’ khalaf, ini harus dicamkan benar-benar.
Karena di Indonesia terdengar desus-desus bahwa Ibnu Taimiyyyah itu
pengikut faham salaf”
Jawaban : Ya, kalau arti salaf seperti arti salafnya tuan, maka benar.
Karena antara Syeikhul Islam dengan orang-orang seperti tuan amat jauh
sekali! Tetapi, jika maksud salaf adalah mereka yang mengikuti manhaj
Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabatnya, para tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka kami katakan kepada
tuan dengan bait syair:
أَئِمَّةُ شَأْنٍ كَالشُّمُوْسِ اشتِهَارُهُمْ فَمَا انْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمِيَ
“Kemasyhuran para imam kebenaran itu seperti matahari
Tidaklah terhapuskan melainkan orang yang buta matanya”
Seorang penyair lain mengatakan:
وَهَبَنِي قُلْتَ أَنَّ الصُّبْحَ لَيْلٌ أَيَعْمَى الْمُبْصِرُوْنَ عَنِ الضِّيَاءِ
“Dia memberitahuku bahwa engkau mengatakan: “Sesungguhnya subuh adalah malam”.
Apakah orang-orang yang mempunyai penglihatan telah buta dari sinar?“
Terus terang saja, perkataan seperti ini sebenarnya tidaklah layak untuk ditangggapi. Karena sebagaimana kata penyair:
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأذْهَانِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النّهَارُ إِلَى دَلِيْلٍ
“Tidaklah masuk akal sedikitpun,
jika siang hari membutuhkan dalil (penunjuk jalan)”
Tetapi sebagai jawaban, cukuplah di sini disebutkan dua point saja:
1. Al-Hafidz Ad-Dzahaby berkata menyifati syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Beliau telah menolong sunnnah nabawiyyah, dan manhaj salaf, beliau
juga berhujjah dengan hujjah yang sulit dicari tandingannya” [13]
2. Fatwa Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Saudi) yang diketuai oleh Syeikh
AI-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, terhadap pertanyaan sebagai
berikut: “Sebagian orang mengatakan bahwa lbnu Taimiyyah bukanlah
termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah, sesat dan menyesatkan. Betulkah ini?”
Jawaban: “Sesungguhnya Syeikh Ahmad bin Abdul Halim lbnu Taimiyyyah
termasuk imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal jama’ah, berda’wah
menuju kebenaran dan jalan yang lurus, dengannya Allah menolong
As-Sunnah dan menghancurkan bid’ah. Barangsiapa menghukumi Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah bukan seperti di atas, maka dia adalah mubtadi’
(ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Dia telah buta tentang sejarah
Islam sehingga yang benar disangka bathil dan yang bathil disangka
benar. Semua ini dapat diketahui bagi siapa yang Allah terangkan
pandangannya, serta mau membaca buku-buku karangannya, lalu
membandingkannya dengan kitab-kitab musuh-musuhnya” [14]
Wahai pembaca, camkanlah fatwa ini baik-baik karena di Indonesia
terdengar desas-desus bahwa Ibnu Taimiyyah bukan pengikut Ahlus Sunnah
wal jama’ah. Janganlah tertipu oleh mereka! karena sesungguhnya mereka
berada di dalam penyimpangan dan kebatilan yang sangat jauh.
Hal. 274 : “Andai kata diterima faham Ibnu Taimiyyah, yang berpendapat
bahwa tuhan itu bersila di atas Arsy, maka bagaimana lagi ayat al-Al
Qur’an: “Allah bersama kalian dimanapun kalian berada” Faham lbnu
Taimiyyah ini menimbulkan kesan seolah-olah tuhan itu dua atau yang satu
duduk bersila di atas arsy’ dan yang lain berjalan-jalan bersama
manusia, alangkah kelirunya faham ini”
Jawaban : Sungguh benar kata penyair:
وَعَيْنُ الرِّضَى عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِى الْمَسَاوِيَ
“Pandangan simpati menutup segala cacat,
Sebagaimana pandanganpun kebencian menampakkan segala kecacatan”
Bukankah pemikiran ini hanyalah muncul dari fikiran tuan belaka? Mengapa
tuan begitu hasad terhadap Ibnu Taimiyyah? padahal lbnu Taimiyyah
sangatlah jauh dari apa yang tuan bayangkan. Bahkan beliau berkata:
“Janganlah seorang menyangka bahwa ayat-ayat Allah saling bertentangan.
Seperti mengatakan: ”Ayat yang menerangkan bahwa Allah berada di atas
arsy’ bertentangan dengan ayat: “Dan Dia bersama kalian di manapun
kalian berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.
Karena Allah bersama kita secara hakekat dan Allah juga berada diatas
arsy’ secara hakekat pula. Sebagaimana Allah menggabungkan hal ini dalam
firmanNya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا
يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia
bersemayam di atas atsy’. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan
apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik padanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada, Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadid:4]
Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy’,
mengetahui segala sesuatu, dan Dia-pun bersama kita di manapun kita
berada. Inilah ma’na perkataan salaf: “Sesungguhnya Allah bersama hamba
dengan ilmunya” [15]
PASAL 2
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH TENTANG NUZUL
Setelah membawakan hadits tentang nuzul (turunnya Allah ke langit
dunia), pada hal : 275. penulis berkata: “Ketika menerangkan hadits ini,
Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana turunnya tuhan dari langit, yaitu
seperti ia turun dari mimbar”
Jawaban : Sebelum kita menjawab tuduhan ini, sangatlah baik sekali kita mengetahui terbih dahulu hadits nuzul tersebut
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا
تَبَارَكَ وَ تَعَالىَ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ
يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ
, مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرِ لِهُ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu
ketika sepertiga malam terakhir, Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa
kepada-Ku, akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, akan Kuberi,
Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Kuampuni” [16]
Setelah kita mengetahui keabsahan hadits ini, maka kita jawab tuduhan
penulis tersebut terhadap lbnu Taimiyyah, dengan bertanya kepadanya:
“Dari manakah tuduhan ini? Dikitab apa ? Siapa yang menceritakannya?
Siapa ulama’ yang mencatat kisah ini? Mana murid-muridnya? Siapa ahil
sejarah yang mencatatnya?”
Barangkali penulis mengambil warisan danri nenek moyang pendusta yang
bernama Ibnu Bathuthah yang telah dibongkar kedustaannya oleh para ahlu
ilmu [17]. Kita cukupkan di sini dengan perkataan syeikhul Islam sendiri
setelah membawakan hadits diatas: “Para salaf, para imam, dan para ahlu
ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini.
Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi
barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang sejenisnya
dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya
dengan sifat makhluq, dan menyifatiNya dengan kekurangan, maka dia telah
salah. Oleh karena itu madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan
menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan
makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat terpuji dan suci dari
penyerupaan dengan makhlukNya” [18]
Hal : 276 : “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu
tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah
terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang.
Kalau di lndonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di
Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah,
kalau tuhan turun ke bawah pada sepertiga malam terakhir, sebagaimana
turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja
setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga
malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu.”
Jawaban : Demikianlah jika seorang telah dimotori dengan akal,
mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan
tidak pasrah terhadap hadist Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu
sebagai hakim dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan terhadap hukummu, dan mereka pasrah dengan
sebenar-benarnya. [An-Nisa’:65]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari imam Az-Zuhri, dia mengatakan: “Wahyu
itu dari Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya
menyampaikan, kewajiban kita hanya pasrah dan tunduk” [19]
Imam Ath-Thahawy berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya
kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya n ,
dan mengembalikan segala kesamaran kepada yang Maha Mengetahui” [20].
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
1. Beriman terhadap nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimana serta menggambarkannya, baik dalam fikiran,
terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap
AIllah tanpa ilmu, sedangkan Allah tidak dapat dijangkau oleh fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [As-Syura:11]
Jika kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan
dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang
penting, jika tiba sepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit
dunia, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam [21]
Hal. 276 : “Yang benar, ialah tafsiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa
pintu rahmat tuhan lebih terbuka pada sepertiga malam terakhir, menurut
waktu setempat, karena itu berdoalah pada waktu itu”
Jawaban : Inilah yang dinamakan ta’wil! sebuah ta’wil yang dibangun di
atas hujjah anak-anak dan wanita, sebuah ta’wil yang telah dikikis
bersih oleh Syeikhul Islam sendiri dalam ‘Majmu’ Fatawa” 5/415-517.
Tidak ada seorang sahabatpun yang menta’wil seperti ini... camkanlah
baik-baik perkataan lbnu Taimiyyah berikut ini: “Sesungguhnya aku telah
menelaah tafsir-tafsir yang dinukil dari kalangan sahabat dan apa yang
mereka riwayatkan dari hadits-hadits nabi, dan aku telah membaca
kitab-kitab, baik yang besar maupun kecil lebih dari seratus buku
tafsir, akan tetapi sampai saat ini saya tidak mendapatkan seorangpun
dari sahabat yang menta’wil satupun dari ayat-ayat sifat maupun hadits…”
[22]
Cukuplah sebagai renungan kita bersama “Apakah rahmat Allah mampu untuk
mengatakan: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, siapa
yang meminta kepadaKu akan Kuberi”, sungguh amatlah mustahil sekali!!
sekalipun bagi orang-orang yang bodoh.
Syeikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz berkata membantah
ta’wil-ta’wil seperti ini: “Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali,
bertentangan dengan nash-nash shahih yang menetapkan nuzul (turunnya)
Allah. Pendapat yang benar, ialah pendapat salaf shaleh, yaitu meyakini
turunnya Allah dan memahami riwayat itu sebagaimana datangnya, tanpa
takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan
makhluk). lnilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok,
dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi
gerahammu serta berhati-hatilah dari keyakinan¬-keyakinan yang
menyelisihi ini, Semoga engkau bahagia dan selamat” [23]
PASAL 3
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM ZIARAH KUBUR
Hal, 274 : “Ibnu Taimiyyah mengharamkan orang yang ziarah ke makam nabi
di Madinah, dan perjalanan itu (kalau dilakukan) dianggap ma’siat
menurut Ibnu Taimiyyah”
Hal, 278 : “Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut, tapi
sejarah Islam telah mencatat bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyik
pada abad 7H, yang mengharamkan ziarah ke makam nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Ibnu Taimiyyah”
Jawaban: “Masalah ini bukanlah masalah baru, dan tuduhan ini bukanlah
tuduhan yang baru pula, pada masa beliau sudah ada yang membuat
kedustaan atas beliau dalam hal ini.
Agar tidak ada salah faham dalam maslah ini, maka hendaklah dicermati
baik-baik. Kami katakan: “Sesungguhnya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah
tidaklah mengharamkan ziarah kubur yang syar’i, baik kuburan Nabi n atau
lainnya. Akan tetapi yang beliau larang adalah ziarah kubur bid’i
(secara bid’ah), seperti mengadakan penjalanan dengan tujuan ziarah
kubur, sebagaimana sering dilakukan banyak orang, terutama di Indonesia
ini. Larangan itu berdasarkan hadits, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالِ إِلاَّ إلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِي هَذَا وَ الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Janganlah mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini(masjid Nabawi) dan masjidil Aqsha. [24]
Sesungguhnya orang yang mau membaca kitab-kitab Syeikhul Islam lbnu
Taimyyah dengan adil dan jujur, niscaya ia akan mengetahui bahwa beliau
sama sekali tidak mengharamkan ziarah kubur sebagaimana tuduhan penulis
ini. Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik: “Telah aku
jelaskan dalam kitabku tentang manasik haji, bahwa bepergian ke masjid
Nabawi dan menziarahi kubur beliau – sebagaimana diterangkan imam kaum
muslimin dalam manasik- merupakan amal shaleh yang dianjurkan…” Beliau
juga berkata: “Barangsiapa yang bepergian ke Masjid Haram, Masjid Aqsha
atau Masjid Nabawi, kemudian shalat di masjidnya, lalu menziarahi kubur
beliau sebagaimana Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ini
merupakan amal shaleh. Barangsiapa mengingkari safar seperti ini, maka
dia kafir diminta taubat, jika bertaubat itulah yang diharapkan. Jika
tidak maka dibunuh.
Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur
semata, sehingga apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di
masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi n lalu pulang, maka
orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan menyesatkan karena
menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini”
[25]
Barangsiapa yang membaca kitab “Ar Raddu ‘ala Al-Akhna’i” dan
“Al-Jawabul Al-Baahir Liman Sa’ala ‘an Ziyaratil Kubur” karya Ibnu
Taimiyyah, ia akan yakin dengan apa yang kami uraikan.
Hal ini dikuatkan oleh murid-murid beliau di antaranya.
1. Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi, beliau berkata dalam ‘As Sharim Al-Munky”
Hal; 15: “Hendaklah diketahui, sebelum membantah orang ini (as-Subkiy)
bahwasanya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkam ziarah
kubur yang syar’i dalam kitab-kitabnya. Bahkan beliau sangat
menganjurkannya. Karangan-karanganya serta manasik hajinya adalah bukti
atas apa yang saya katakan”
2. Al-Hafidz lbnu Katsir, beliau berkata dalam “Al Bidayah Wa
An-Nihayah” 14/123: “Dan Syeikh lbnu Taimiyyah tidaklah melarang ziarah
kubur yang bersih dari kebid’ahan, seperti bepergian/safar untuk ziarah
kubur. Bahkan beliau mengatakan sunnahnya ziarah kubur, kitab-kitabnya
dan manasik-manasik hajinya adalah bukti hal itu, beliau juga tidak
pernah mengatakan haramnya ziarah kubur dalam fatwa-fatwanya, beliau
juga tidak jahil dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Ziarahlah karena hal itu dapat mengingatkan kalian dengan akherat”.
Tetapi yang beliau larang adalah bepergian/safar untuk ziarah. Jadi
ziarah kubur itu suatu masalah dan bepergian dalam rangka ziarah kubur
itu masalah lain lagi”
Sebagai penutup pembahasan ini kami kutipkan pula perkataan Al-‘Allamah
Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau berkata dalam
“Silsilah Ahadits adh-Dhaifah” 1/124, no: 47: “Perhatian: Banyak orang
menyangka bahwa Syeikhul Islam Ibnu Iaimiyyah dan orang-orang yang
sejalan dengannya di kalangan salafiyin melarang ziarah kubur nabi. Ini
merupakan kedustaan dan tuduhan palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah
perkara yang baru. Orang yang mau menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah
akan mengetahui bahwa beliau mengatakan disyariatkannya ziarah kubur
nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan syarat tidak diiringi dengan
kemungkaran-kemungkaran dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti
bepergian/safar ke sana, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Janganlah mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana
persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan
taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya. Hal
ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata; “Aku
berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya
kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata;
“Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau
tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak
boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa para sahabat memahami hadits
ini dengan keumumannya. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak adanya
penukilan dari seorang sahabatpun bahwa mereka mengadakan perjalanan ke
kuburan siapapun. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنَ خَلَفَ
“Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti kaum salaf.
Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti kaum khalaf
PASAL 4
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM TAKFIR
Hal 301-302 : Penulis memberikan judul “Lekas-lekas menghukumi kafir”
kemudian berkata: “…ayat-ayat yang khusus turun untuk mencela
orang-orang kafir dipasangkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk orang Islam yang
menziarahi kubur, untuk orang Islam yang berdo’a dengan tawassul.
Inilah sikap lbnu Taimiyyah yang radikal. Sikap lbnu Taimiyyah ini sama
dengan sikap Khawarij yang mengkafirkan sayyidina Muawiyyah Cs,
pendeknya setiap orang yang tidak sesuai dengan pahamnya adalah kafir,
halal darah dan hartanya”.
Jawaban: Lihatlah wahai pembaca, bagaimana penulis ini sembarangan mengeluarkan kata-katanya! Allah berfirman.
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. [An-Nisa:112]
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah bersih dari tuduhan semacam ini bahkan
beliau berkata: “Sesungguhnya orang yang selalu duduk bersamaku akan
mengetahui bahwa aku termasuk manusia yang paling melarang dari
lekas-lekas menghukumi seseorang, baik dengan kafir atau fasik, sampai
tegak hujjah kepadanya lantas orang tersebut menyelisihinya, maka dapat
dihukum kafir, fasik atau maksiat. Dan saya menyakini bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah mengampuni kesalahan umat ini, baik
kesalahan-kesalahan dalam perkataan dan perbuatan”.
Beliau melanjutkan: “Adapun takfir (menganggap kafir), ini termasuk
ancaman yang keras. Memang barangkali seseorang melakukan perbuatan
kufur, tetapi pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di
perkampungan yang jauh dan agama, maka orang seperti ini tidak dapat
dikafirkan sehingga tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut
belum mendengar nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka
seperti ini sama seperti yang di atas, sekalipun ia salah.
Dan seringkali aku mengingatkan saudara-saudaraku dengan hadits
Bukhari-Muslim tentang seorang yang mengatakan: “Jika aku telah
meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu
buanglah ke lautan. Kalau memang Allah Subhanahu wa Ta'ala
membangkitkanku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak
pernah ada di alam ini”. Akhirnya merekapun melaksanakan wasiat
tersebut. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala membangkitkannya, Allah
Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu melakukan
ini?” jawabnya: “Aku takut kepada-Mu”, lantas Allah mengampuninya” [27]
Lihatlah orang ini, yang ragu akan kemampuan Allah dan kebangkitan
manusia setelah mati bahkan ia meyakini bahwa dia tidak akan
dibangkitkan, jelas ini merupakan kekufuran dengan kesepakatan kaum
muslimin, tetapi dia jahil/bodoh, tidak mengetahui hal itu dan dia takut
siksaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allahpun mengampuninya”. [28]
Kami kira perkataan beliau sudah cukup jelas untuk membantah tuduhan penulis ini.
Hal 302-303 : “Manusia -menurut kaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah- apabila
telah mengucap kalimat syahadat, telah mengakui dalam hatinya bahwa
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul-Nya maka orang itu sudah
mukmin dan ia tidak menjadi kafir dengan berbuat dosa, walaupun dosa
besar, selain syirik. Paham yang mengatakan bahwa si pembuat dosa besar
adalah kafir itu adalah paham kaum Khawarij … . Sikap lbnu Taimiyyah
sangat lancang menuduh orang dengan kafir kalau tidak sefaham
dengannya”.
Jawaban : “Memang benar seorang mukmin tidak menjadi kafir dengan
berbuat dosa, kami tidak mengingkari hal itu. Tetapi masalahnya, apakah
Ibnu Taimiyyah menyelisihi paham ini, sehingga ia mengikuti paham
Khawarij yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar -sebagaimana
orang memahami perkataan penulis di atas- ?!! jawabnya: “Syaikhul Islam
lbnu Taimiyyah amat jauh dari pemahaman Khawarij ini, bahkan beliau
adalah orang yang memberantas pemahaman ini.
Beliau berkata: “Termasuk pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah bahwa Ad-dien dan iman itu berupa perkataan dan perbuatan,
perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan.
Dan iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Walaupun demikian, mereka tidak mengkafirkan orang Islam hanya dengan
sebab maksiat atau dosa besar -sebagaimana yang dilakukan Khawarij-,
tetapi mereka berkeyakinan bahwa persaudaraan iman tetap ada, walaupun
terjadi kemaksiatan pada saudara kita, sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman tentang ayat Qishas.
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik. [Al Baqarah
:178]
Dan Allah juga berfirman.
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. [Al-Hujurat : 9]
Dalam ayat pertama, Allah menyatakan bahwa orang yang membunuh masih
termasuk saudaranya. Sedangkan dalam ayat kedua Allah manyatakan dua
kelompok yang saling berperang itu masih termasuk orang-orang mukmin.
[29]
Beliau juga menegaskan: “Setiap orang yang mau memperhatikan perkataan
Khawarij dan Murjiah dalam masalah iman, ia akan mengetahui bahwa
keduanya menyimpang dari ajaran Rasul... Demikian pula setiap muslim
akan mengetahui bahwa peminum khamr, pezina, pencuri dan lain-lain tidak
dikatakan oleh nabi bahwa mereka telah murtad dan wajib dibunuh, tetapi
Al-Quran dan hadits-hadits mutawatir menjelaskan bahwa mereka
mendapatkan hukuman yang berbeda dengan hukuman orang orang murtad.
Sebagaimana Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an hukuman bagi pezina
(muhshon/yang sudah menikah) dengan rajam dan pencuri dengan potong
tangan. Seandainya mereka murtad, tentu nabi n akan membunuh mereka.
Jadi dua pendapat ini (Murjiah dan Khawarij) sangat rusak dan rusak
sekali”. [30]
Maka jawablah sendiri wahai pembaca tuduhan penulis di atas.
PASAL 5
IBNU TAIMIYYAH DAN TARIKAT SUFI
Hal 303 : “lbnu Taimiyyah menfatwakan bahwa sekalian tarikat-tarikat
sufiyah yang banyak diamalkan oleh umat Islam pada zamannya itu haram”
Jawaban: “Sekali lagi kita bertanya-tanya, “Benarkah sikap lbnu
Taimiyyah menyesatkan sufi? Apakah dia salah jika menyatakan sesat
sesuatu yang memang berhak dinyatakan sesat? Jawablah wahai orang yang
berakal! Oleh karena itu kami tegaskan bahwa kaum sufiyah adalah kaum
yang sesat dan menyesatkan. Mengapa demikian? Syeikhul Islam menjawab:
“Mereka adalah kaum Ahlul ahwa’ (yang mengikuti hawa nafsu) yang
beribadah kepada Allah dengan berdasarkan hawa nafsu mereka sendiri
bukan dengan tuntunan Allah dan rasulNya.
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih tersesat daripada orang yang men gikuti hawa
nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah. [Al-Qashas : 50]
Oleh karena itu, kebanyakan mereka telah dibutakan dengan hawa nafsu,
mereka tidak mengenal siapa yang mereka sembah. Mereka sangat begitu
mirip sekali dengan kaum Nashara yang dikatakan Allah dalam kitab-Nya:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ
وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا
كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَآءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahlu kitab, Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara
yang tidak benar dalam agamamu Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. [Al-Maidah:77]
Oleh karena itu kaum salaf memberi nama ahlu bid’ah dengan Ahlu Ahwa”
Subhanallah..., Alangkah jelasnya perkataan ini, dan alangkah cocoknya
pada diri kaum sufi yang beribadah kepada Allah tanpa tuntunan dan
bimbingan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi
membikin cara-cara ibadah sendiri.
Hal 304 : “Cara-cara dzikir itu macam-macam, ada sebagian yang diajarkan
oleh syeikh Abdul Qadir Al-Jailany yang kemudian dinamai tarikat
Qodiriyyah, ada sebagian yang diajarkan Syeikh Bahauddin Naqshabandi
yang kemudian dinamai tarikat Naqshabadi dan lain-lain.
lbnu Taimiyyah menfatwakan bahwa semua itu haram, tidak boleh
dikerjakan, sedang sebagian besar ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
menfatwakan bahwa amalan tarikat-tarikat baik, bahkan ada yang
mengatakan sangat baik. Karena amal-amal dalam tarikat itu dikerjakan
oleh Nabi dan sahabat-sahabat beliau juga dituntut dalam Al Qur’an...”
Jawaban : Kami heran dengan penulis. Alangkah beraninya berdusta dalam
syari’at yang mulia ini. Untuk mempenjelas masalah ini, hendaklah
diperhatikan dua hal:
1. Perlu diketahui bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan para ulama’
salaf yang mengingkari bila dzikir itu termasuk ibadah dan dianjurkan
dalam Islam. Bukan lbnu Taimiyyah, lbnu Qoyyim, atau Muhammad lbnu Abdul
Wahhab. Lebih-lebih lbnu Taimyyah yang pernah mengatakan tentang
pentingnya dzikir;
الذِكْرُ لِلْقَلْبِ كَالْمَاءِ لِلسَّمَكِ فَكَيْفَ يَكُوْنُ حَالُ السَّمَكِ إِذَا أُخْرِجَ مِنَ الْمَاءِ ؟
Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, bagaimanakah keadaan ikan jika berpisah dengan air. [31]
2. Inilah yang penting, dan inilah yang akan kami perpanjang sedikit
karena inilah yang menjadi titik permasalahan. Yaitu, perlu diketahui
bahwa tidak semua hal yang baik dapat menjadi baik jika dilakukan bukan
sebagaimana mestinya. Seperti sholat, semua kita mengakui jika sholat
merupakan ibadah utama dan termasuk rukun Islam kedua. Tetapi apakah
shalat menjadi baik jika dikerjakan bukan pada waktunya? atau ditambah
jumlah rakaatnya? Tentu saja tidak! Bahkan semua kita akan mengatakan
bahwa hal itu sangat tercela. Demikian pula ibadah-ibadah lainnya,
seperti juga dzikir ini. Karena seluruh amal ibadah kita tidak diterima
di sisi Allah kecuali apabila memenuhi dua persyaratannya:
Pertama : lkhlas kepada Allah, bersih dari riya’ dan sum’ah.
Kedua:lttiba’ yaitu sesuai dengan contoh Nabi yang mulia
Dua syarat ini harus terpenuhi dalam setiap ibadah, ikhlas tanpa ittiba’
batal, demikian juga sebaliknya ittiba’ tanpa ikhlas batal juga.
Fahamilah!
Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah berkata: “Tidak syak (ragu) lagi bahwa
dzikir dan doa merupakan ibadah yang mulia, tetapi ibadah itu dibangun
di atas ittiba’ (mencontoh As-Sunnah) bukan Ibtida’ (membuat cara
sendiri) dan hawa. Doa dan dzikir yang dicontohkan Nabi itulah doa dan
dzikir yang paling mulia dan selamat... Dan tidak boleh bagi seseorang
membuat dzikir-dzikir atau doa yang tidak dicontohkan lalu dijadikannya
sebagai ibadah yang dipraktekkan manusia, seperti setelah shalat fardhu,
ini termasuk kebid’ahan dalam agama. Mengapakah kita tidak merasa cukup
dengan dzikir-dzikir yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, ataukah kita merasa lebih bertaqwa daripada beliau ?[32]
Untuk lebih memperjelas masalah ini, kita ambil satu contoh dari
dzikir-dzikir sufi yang salah ditinjau dari sisi ittiba’nya, bukan
keikhlasannya, karena itu adalah amalan hati yang di luar pengetahuan
kita.
Hal 304 : “Penulis mengatakan “Ada ahli tarikat yang membaca dzikir:
Allah, Allah, Allah, Allah..beribu-ribu kali atau berjuta-juta dengan
dalil:
يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kalian dengan dzikir yang banyak. [Al Ahzab: 41]
Jawaban : Dzikir semacam ini adalah dzikir tarikat sufiyah, seperti
Qadiriyyah dan lain-lain. Yaitu dengan mengulang-ulang lafadz “Allah”,
atau cukup dengan dhomir (kata ganti) “Huwa”. Perlu kita ketahui bahwa
dzikir-dzikir semacam ini merupakan dzikir yang dinisbatkan secara dusta
kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani. Beliau tidak pernah berdzikir
seperti ini ataupun mengajarkannya. Tunjukkan hujjah kalian jika kalian
orang-orang yang jujur !!“ [33]
Dzikir seperti ini juga bid’ah, tidak ada contohnya, bahkan tidak ada
yang mengatakan bahwa seperti ini termasuk dzikir atau doa.
Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah berkata: “Isim mufrad (kata benda tunggal)
tidaklah memiliki kata yang memiliki berarti menurut seluruh penduduk
langit dan bumi. Oleh karena itu para ulama’ menganggap bid’ah apa yang
dikerjakan para sufi yang berdzikir hanya dengan lafadz “Allah” karena
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ وَ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ للهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
Sebaik-baik dzikir adalah La Ilaha illa Allah, sebaik-baik doa adalah Al-Hamdulillah dan Allahu Akbar. [34]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah mengajarkan para sahabatnya berdzikir tetapi dengan kalimat yang sempurna. [35]
Beliau juga berkata: “Dan dzikir dengan dhamir (kata ganti) “Huwa” atau
dengan isim mufrad (kata tunggal) “Allah” lebih jauh dari As Sunnah dan
lebih mendekati kebid’ahan dan kesesatan syetan. [36]
Lebih jelas lagi mari kita perhatikan dua alasan berikut ini:
1. Kisah yang shohih dan masyhur tentang pengingkaran Abdullah bin
Mas’ud terhadap orang-orang yang dzikir berhalaqoh-halaqoh (duduk
berlingkar-lingkar), bertakbir, bertahlil dan bertasbih dengan cara yang
tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di
akhir cerita itu lbnu Mas’ud berkata kepada mereka: “Kalian lebih benar
dari agama Muhammad ataukah kalian pembuka pintu kesesatan? Mereka
menjawab: “Demi Allah, wahai Abu Abdirrahman (kunyah/panggilan Abdullah
bin Mas’ud), Kami tidak melakukan ini kecuali demi kebaikan.” Beliau
menjawab: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak
mendapatkannya.” [37]
Apakah kita menyangka bahwa sahabat Abdullah bin Mas’ud mengingkari
dzikir? Tentu tidak, karena beliau tidak mengingkari dzat dzikir
tersebut, tetapi yang beliau ingkari adalah cara mereka yang tidak
sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dalam kisah ini terdapat
pelajaran bagi kaum Thariqat dzikir yang menyelisihi As-Sunnah. Sungguh
sangatlah menggelikan jawaban mereka ketika kita ingkari perbuatan
mereka, dengan menuduh bahwa kita mengingkari dzikir! Padahal tidak ada
seorang muslimpun di dunia ini yang mengingkari dzikir, karena ini
merupakan kekufuran. Akan tetapi yang mereka ingkari adalah cara-cara
bid’ah dalam dzikir tersebut, kalau tidak, lantas apa yang diingkari
Abdullah bin Mas’ud terhadap mereka? bukankah yang diingkari adalah
perkumpulan yang ditentukan, bilangan yang ditentukan dan cara-cara
bid’ah lainnya”.
2. Nafi’ berkata: “Pernah seseorang bersin di samping lbnu Umar lalu orang itu berkata:
الحمد لله والسللأم على رسو الله
Maka lbnu Umar berkata: “Saya juga memuji Allah dan bersholawat atas
Rasulnya tapi bukan seperti ini (setelah bersin) cukuplah dengan
Alhamdulillah. [38]
Apakah kita menuduh bahwa lbnu Umar mengingkari dzikir dan sholawat?
demi Allah tidak! Melainkan mengingkari tatkala lafadz itu diletakkan
bukan pada tempatnya seperti setelah bersin. Fahamilah!
Sebagai penutup mari kita perhatikan atsar/riwayat berikut ini: Dari
Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan sholat
setelah fajar lebih dari dua rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya.
Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai
Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau
menjawab tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi
As-Sunnah” [39]
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari atsar ini dalam
“Irwaul GhaliI” 2/236: “Ini adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat
indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang
menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat,
kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu sunnah)
mengingkari dzikir dan shalat! padahal sebenarnya yang mereka ingkari
adalah penyelewengan ahlul bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.
Semoga kita semua dapat memahami masalah ini dengan baik.
PASAL 6
TUDUHAN DAN JAWABAN
Hal 307 : Menurut kitab fashul aqwal hal. 32 lbnu Taimiyyah telah
melanggar dan merongrong 16 ijma’ yaitu kesepakatan imam-imam mujtahid
dalam suatu masa:
1. Bersumpah dengan thalak tidak membikin jatuh thalak, tapi hanya suami diwajibkan membayar kafarat sumpah.
2.Talak ketika istri membawa haidh tidak jatuh.
3. Talak diwaktu suci disetubuhi tidak jatuh.
4. Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha’.
5. Talak tiga sekaligus hanya jatuh satu.
6. Orang yang junub (habis bersetubuh dengan istrinya) boleh melakukan sembahyang Sunnah malam tanpa mandi lebih dahulu.
Jawaban: 6 point di atas tidak keluar dari dua perkara:
Pertama : Dusta, yaitu mengatakan perkara tersebut merupakan ijma’ padahal bukan.
Kedua: Dusta, yaitu mengatakan bahwa ini perkataan Ibnu Taimiyah.
Contohkan saja seperti masalah nomor 2,4 dan 5 semua ini adalah masalah
fiqhiyah khilafiyah (masalah fiqih yang diperselisihkan para ulama),
bukan masalah ijma’ sebagaimana keterangan di atas bahwa Ibnu Taimiyah
melanggar dan merongrong ijma’.
Baiklah kita ambil dua masalah saja di sini agar jelas bagi kita kedustaan tuduhan ini.
Masalah pertama, nomor 4: Shalat yang ditinggalkan dengan sengaja apakah
di qadha’ atau tidak? Ini adalah masalah khilaf (perselisihan) bukan
ijma’, perhatikan perkataan Al-‘Allamah Shidiq Hasan Khan: “Para ulama
berselisih tentang qadha’ shalat yang tertinggal tanpa udzur. Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat wajibnya qadha’, namun Dawud Ad-Dhahiri,
Ibnu Hazm dan sebagian sahabat Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada
qadha’ bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, orang itu
hanya berdosa dengan perbuatannya tersebut, inilah pendapat Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah”.[40]
Lihatlah wahai saudaraku apakah masalah ini ijma’ atau khilaf?
Tunjukkanlah bukti kalian jika masalah ini ijma’! Periksalah kitab-kitab
di bawah ini ; Majmu’ Fatawa 22/42 dan setelahnya. Kitab Ash-Shalah,
hal: 53-58 oleh lbnu Qoyyim.
Demikian juga masalah no 5: Thalak tiga sekaligus, apakah terhitung satu
atau tiga? Ini juga masalah khilaf bukan ijma’, hal ini sangat jelas
bagi mereka yang membaca kitab-kitab ulama’ kita.
Imam Nawawi berkata dalam “Syarh Shahih Muslim” 10/57: “Para ulama’
berselisih tentang orang yang mengatakan kepada istrinya: “Aku cerai
kamu tiga kali sekaligus!”, Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad
serta jumhur ulama’ salaf dan khalaf berpendapat jatuh tiga. Tetapi
sebagian ulama’ lainnya, seperti Thawus dan sebagian Dhahiriyyah
berpendapat bahwa thalaknya jatuh satu saja, ini juga riwayat dari
Muqotil dan Ibnu Ishaq. Dalil mereka adalah hadits Ibnu Abbas ini.”
Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajar heran terhadap orang yang mengatakan tidak
adanya perselisihan dalam masalah ini, beliau berkata dalam “Fathul
Bari” 9/363: “Sungguh mengherankan lbnu Thin yang manyatakan bahwa
masalah thalak tiga jatuh sekaligus tidak ada perselisihan di padanya,
padahal perselisihan sangatlah nampak seperti yang anda lihat sendiri.”
Demikian juga Imam As-Syaukani menyebutkan dalam “Nailul Authar”
6/654-658: “Ketahuilah bahwa ada perselisihan dalam masalah thalak tiga
sekaligus ini, apakah jatuh semuanya atau tidak...”
Sebagai pencari kebenaran dalam masalah seperti ini adalah dengan cara
kembali menelaah dalil-dalil yang ada, lalu memilih yang lebih kuat.
Periksalah: Majmu’ Fatawa 33/91 dan setelahnya I’lamul Muwaqqi’in
3/30-35 oleh lbnu Qoyyim Nailul Authar 6/654-658 oleh imam As Syaukany
Hal 308 : Selanjutnya penulis meneruskan penukilan keji itu:
7. Syarat si waqif tidak dipedulikan.
8. Orang yang mengingkari ijma’ bukan kafir dan bukan fasik.
9. Tuhan itu tempat yang hadits (baru) dengan arti tuhan menjadi tempat bagi sifatnya yang baru.
10. Dzat tuhan tersusun yang satu berkehendak dari yang lain.
11. Qur’an itu baru bukan qodim.
12. Tuhan bertubuh, berjihat, dan berpindah-pindah tempat,
13. Alam itu qodim.
14. Neraka akan lenyap.
15. Tuhan sama besar dengan arsy
16. Nabi tidak ma’shum.
Jawaban : Alangkah keji perkataan yang keluar dan mulut-mulut mereka!
Kedustaan tuduhan¬-tuduhan ini tidak samar lagi bagi orang yang mau
membaca buku-buku Ibnu Taimiyyah.
Agar jelas bagi kita kedustaannya maka kita ambil dua contoh saja.
Masalah 14 : Tuduhannya bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan neraka fana dan
tidak kekal, padahal beliau berkata dalam “Majmu’ Fatawa” 18/307: “Para
salaf dan imam-imam serta seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa di antara makhluk-makhluk yang tidak fana selamanya adalah surga,
neraka, arsy dan lainnya”
Beliau juga mengatakan dalam “Dar’u Ta’arudhil Aqli Wa Naqli” 2/358:
“Seluruh Ahlu Islam mengatakan bahwa surga dan neraka tidak ada
akhirnya, keduanya senantiasa kekal tidak fana. Demikian juga penduduk
surga akan senantiasa di surga dengan kenikmatannya dan penduduk neraka
akan kekal dalam neraka dengan kepedihannya. Keduanya hanyalah Allah
yang mengetahui akhirnya.”
Masalah 16 : Tuduhannya bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa para nabi
tidak ma’shum, padahal beliau sendiri mengatakan dalam “Majmu’
Fatawa-10/289-290: “Untuk mengungkap masalah ini perlu ditegaskan bahwa
para nabi, mereka adalah ma’shum dalam apa yang mereka sampaikan dari
Allah dengan kesepakatan kaum muslimin... berbeda dengan selain para
nabi, mereka tidak ma’shum sekalipun mereka wali-wali Allah. Oleh karena
itu barangsiapa yang menghina nabi maka dia harus dibunuh adapun
menghina selainnya maka tidak.”
Inilah beberapa contoh kedustaan-kedustaan dan kebohongan-kebohongan
yang ada dalam buku ini. Semoga apa yang kami jelaskan ini bermanfaat
bagi kita semua, kaum muslimin, dan apabila terdapat hal-hal yang keliru
atau terkesan kasar maka kami meminta maaf. Semoga ma’lum. Wallahu
a’lam.
Home »
» MEMBONGKAR KEBOHONGAN TERHADAP IBNU TAIMIYAH....MELURUSKAN SEJARAH ISLAM.
MEMBONGKAR KEBOHONGAN TERHADAP IBNU TAIMIYAH....MELURUSKAN SEJARAH ISLAM.
Written By phyton.id on Senin, 01 Juli 2013 | 02.16
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar