HUKUM CALO TIKET
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi
perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan
dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan
dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa.
Keberadaan calo sangat dibutuhkan oleh pihak produsen, pemilik barang
atau jasa untuk memasarkan barang/jasa yang mereka miliki. Dan juga
sangat dibutuhkan oleh para pembeli/pengguna jasa untuk memberikan
informasi yang akurat sehingga pihak konsumen dapat menentukan pilihan
mereka terhadap barang/jasa sesuai dengan keinginan dan anggaran mereka.
Karena kebutuhan pemilik barang/jasa dan konsumen akan jasa calo maka
keberadaan calo sudah dikenal sejak lama dari masa Rasulullah dan qurun
mufaddhalah, profesi calo dikenal dengan sebutan dallal atau simsaar.[1]
Pekerjaan mereka di saat itu adalah meneriakkan nama barang serta
sepesifikasinya sehingga para pembeli berdatangan ke tempat tersebut
untuk membeli barang yang mereka inginkan. Setelah selesai meneriakkan
barang, mereka mendapatkan imbalan dari pemilik barang atas pekerjaan
mereka. [2]
Atas dasar kebutuhan akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat
adalah mubah selama tidak terdapat larangan, maka profesi calo
dibenarkan dalam Islam serta upah yang mereka dapatkan hukumnya halal.
[3]
Kebolehan hukum calo telah dijelaskan oleh para ulama : Imam Bukhari
(wafat 256H) berkata : “Bab : Upah calo. Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim
An-Nakha’i, Hasan Al-Bashri membolehkan upa calo … dan Ibnu Abas. “[4]
An-Nawawi (ulama mazhab Syafi’i wafat : 676H) berkata : “Upah calo
dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya.
[5]
An-Najdy (ulama mazhab Hanbali wafat : 1392H) berkata : Upah calo
dibayar oleh pemilk barang, ini adalah kebiasaan yang berlaku di pasar.
[6]
Namun realita di zaman modern di mana para calo tersebut jauh dari
mengenal tuntutan syariat dalam menjalankan profesinya, sering kali
mereka melakukan pelanggaran. Hal ini berdampak terhadap rusaknya citra
para calo dan terciptalah citra bahwa calo identik dengan sikap
pemaksaan serta penipuan, termasuk calo tiket di terminal, pelabuhan dan
bandara.
Berikut ini beberapa pelanggaran yang kerap dipraktekkan oleh para calo tiket.
1.Pemaksaan terhadap calon penumpang agar membeli tiket
Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa terminal bis antar kota pada
musim liburan para calo perusahaan bis berkerumun mendekati orang yang
membawa tas koper yang diperkirakan akan menggunakan salah satu jasa
angkutan.
Mulai dari menanyakan tujuan perjalanan hingga terkadang menarik-narik
barang bawaan calon penumpang dan memaksanya untuk menggunakan jasa
angkutan mereka.
Bila ini yang terjadi, calon penumpang membeli tiket perusahaan angkutan
tersebut dalam keadaan setengah terpaksa maka sesungguhnya akad
jual-beli tiket tidak sah, karena ada unsur pemaksaan [7], serta upah
yang didapatkan calo dari usahanya tersebut tidak halal.
Berdasarkan firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]
Maksud suka sama suka dalam ayat diatas tidak ada unsur pemaksaan dari
salah satu pihak. Dan bila terdapat unsur pemaksaan, uang hasil imbalan
barang dan jasa termasuk memakan harta orang lain dengan jalan yag
batil.
2.Tidak jujur dalam memberikan informasi fasilitas jasa angkutan.
Selain setengah memaksa calon penumpang secara fisik, seringkali calo
tidak jujur memberikan informasi kepada calon penumpang, seperti ; calo
saat ditanya tentang jam keberangkatan ia menginformasikan bis akan
berangkat sekarang, padahal ia tahu bahwa bis baru berangkat setelah dua
jam kemudian.
Tindakan calo ini merupakan ghissy (penipuan) dalam akad dan hukumnya
haram, bahkan sebagian ahli fiqh menempatkan ghissy dalam deretan dosa
besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang
batil. [8]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. : “Siapa yang
melakukan ghissy (penipuan) dalam akad, tidaklah ia termasuk umatku” [HR
Muslim]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. :
فَإِنْ صَدَقَاوَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَافِي بَيْعِهِمَا وَإِ نْ كَذَبَا
وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَ كَةَ
بَيْعِهِمَا
“Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan cacat barang/jasa
niscaya akad jual-beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta
serta menyembunyikan cacat barang/jasa dihapus keberkahan dari akad
jual-beli mereka” [HR Bukhari dan Muslim]
Ada juga calo tiket jenis lain, yaitu calo tiket kereta api dan pesawat
terbang. Mereka membeli ticket sebanyak mungkin sebelum musim liburan.
Pada saat jatuh temponya mereka berkeliaran di setasiun dan bandara
untuk menjual ticket.
Pelanggaran kaidah muamalat yang sering dilanggar oleh calo jenis ini, diantaranya ;
a.Tindakan calo dengan memborong tiket angkutan umum termasuk bagian dari ihtikar.
Ihtikar adalah membeli sesuatu dengan tujuan menimbunnya, tindakan ini
tentu menyebabkan harga menjadi naik dan pada saat itu penimbun
menjualnya dengan harga sesukanya, karena pembeli dalam keadaan sangat
membutuhkan barang tersebut ia terdesak untuk membelinya.
Ini yang dilakukan oleh calo tiket, ia membeli tiket sebanyak mungkin
dengan berbagai cara, kemudian menjualnya lebih tinggi dari harga resmi
yang dijual oleh perusahaan pemberi jasa. Karena pada puncak musim
liburan tiket biasanya langka dan orang-orang sangat butuh untuk
bepergian, kesempatan ini dimanfaatkan oleh calo.
Ihtikar diharamkan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ احتَكَرَ فَهُوَخَا طِىءٌ
“Orang yang membeli barang dengan tujuan menimbunnya adalah orang yang berdosa” [HR Muslim]
b.Harga tiket yang ditawarkan sangat tinggi
Biasanya calo ini menawarkan harga tiket jauh di atas harga resmi yang
dijual oleh perusahaan. Karena pada saat itu tiket sudah habis, maka
calon penummpang bersedia membelinya, sekalipun mereka tahu bahwa mereka
tertipu.
Sebetulnya, Islam membolehkan seorang penjual mengambil laba sekalipun mencapai 100% atau bahkan lebih.
Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah
Shallallahu wa sallam memberikan uang 1 dinar kepada Urwah agar ia
membelikan seekor kambing untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Maka ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di
pasar. Ia menawarnya dan mendapatkan 2 ekor kambing. Dalam perjalanan
menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang
menawar seekor kambing seharga 1 dinar maka iapun menjualnnya, lalu
memberikan kepada Nabi 1 dinar ditambah 1 ekor kambing
Akan tetapi bila laba yang tinggi disebabkan karena ihtikar yag diakukan
oleh pedagang maka laba yang didapatkannya tidak halal. [9]
Oleh karena itu berbeda kasusnya jika seseorang membeli tiket kereta
api, kemudian ia berhalangan untuk berangkat dan menjual tiketnya dengan
harga melebihi harga resmi, halalnya baginya mendapatkan laba tersebut,
karena kenaikan harga bukan hasil ihtikar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya calo
hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-larangan, seperti ;
memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar dan menarik
laba yang tinggi.
Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah selayaknya
pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk menertibkan
mereka, sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memeriksa secara langsung onggokan gandum seorang pedagang di pasar
Madinah yang ternyata bagian bawahnya tidak layak jual.
Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak berwenang
memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak mendatangkan
mudharat bagi khalayak ramai. [10]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang kenaikan harga
barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang ….
Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para
penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk
akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang banyakpun tidak teraniaya”
[11]
Wallahu a’lam
Footnote
[1]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid X, hal.151-152
[2]. DR Abdurrahman Al Athram, Al Wisathah At Tijariyah, hal.51
[3]. DR Mubarak Al Sulaiman, Ahkamutta’amul fil Aswaq Al Maliyyah Al Mu’ashirah, jilid 1, hal.38
[4]. Shahih Bukhari, jilid III, hal.92
[5]. Raudha At Thalibin, jild IX, hal.69
[6]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi, jilid IV, hal.484
[7]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid IX, hal.101
[8]. DR Abdullah As Sulamy, Al Ghissy wa Atsaruhu fil uqud, jilif I, hal.484
[9]. DR Abdullah Al Muslih, Malayasa’u at Tajir jahluh, hl.67
[10]. Dr. Fahd Al Hamud, Rtaj al Muamalat, hal. 171
[11]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi. Hal. 318
Home »
» FIQH BISNIS 3
FIQH BISNIS 3
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 09.35
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar