Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, agar beliau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapapan
menuju cahaya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan
kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah, menyampaikan
risalah, dan menasehati umat.
Dan kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut umat untuk mengikuti Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh perkara yang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Kedudukan ini tidak dimiliki oleh
manusia siapapun selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4: 65]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla bersumpah
dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman
sampai ia menjadikan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam putuskan adalah haq, wajib diikuti secara lahir dan batin. Oleh
karena inilah Allâh berfirman, (yang artinya), "kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya." Yaitu jika mereka telah
menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu dalam batin mereka,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin,
serta menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”.
[Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33:
36)]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini umum (mencakup) segala
perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka
tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada
pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan
perkataan.” [Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Ahzâb/33:36]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata, “Bahwa tidak
ada perbedaan antara keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan keputusan
Rasul-Nya, orang mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya,
dan bahwa maksiat kepada Rasul sama dengan maksiat kepada Allâh Azza wa
Jalla , itu merupakan kesesatan yang nyata.” [al-Hadîts Hujjatun
Binafsihi, hlm. 33]
YANG MA’SHUM HANYA NABI
Dengan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwa derajat manusia
yang ditaati secara mutlak hanyalah derajat kenabian. Seandainya seorang
Nabi berbuat kesalahan, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala segera
mengingatkannya, sehingga kesalahannya tidak diikuti oleh umat. Adapun
selain Nabi, seperti para Ulama atau lainnya, maka mereka tidak ma'shûm,
sehingga tidak semua perkataannya harus diikuti. Karena tidak boleh
taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khâliq.
Kema'shuman adalah terjemah dari kata ‘ish-mah dalam bahasa Arab,
berasal dari kata ‘ashoma (عَصَمَ). Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah
berkata, “’Ashama (عَصَمَ) artinya mana’a, darinya muncul kata ‘ish-mah
(اَلْعِصْمَةُ) dalam agama, yaitu: terjaga dari kemaksiatan. [at-Taqrîb
1/324, karya imam Ibnu Qutaibah; Dinukil dari Kitab Naskh Aqîdatil Imam
Ma'shûm, hlm. 3]
Menurut Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, kema'shûman adalah sifat para Nabi,
yaitu mereka semua terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan agama.
Mereka juga terjaga dari dosa-dosa besar. Adapun dosa-dosa kecil, atau
lupa, atau keliru, maka para Nabi terkadang mengalaminya. Dan jika
mereka berbuat kesalahan, maka Allâh Ta’ala segera meluruskannya.
Para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts
al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’ (Lembaga Tetap untuk Penelitian Ilmiyyah dan
Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Para Nabi dan Rasul terkadang
berbuat kesalahan, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkan mereka
dalam kesalahan mereka, bahkan Allâh menjelaskan kesalahan mereka kepada
mereka, karena kasih sayang (Nya) kepada mereka dan umatnya, dan Allâh
memaafkan ketergelinciran mereka serta menerima taubat mereka, karena
karunia dan rahmat dari-Nya, dan Allâh Maha Pengampun dan Pengasih.”
[Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts al-'ilmiyyah wal Iftâ’, 3/264,
fatwa no. 6290]
Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma'shûm ini hanya untuk para Nabi, bukan
untuk manusia selainnya. Karena manusia selain Nabi sangat banyak
berbuat kesalahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
banyak melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat. [HR.
Ibnu Mâjah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ; dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam al Misykah dan Shahîh Sunan Ibni Mâjah]
Demikian juga Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma'shûm ini bagi umat Islam
ketika mereka ijmâ’ dalam suatu perkara. Oleh karena itu ijma’ wajib
diikuti, karena itu merupakan kebenaran.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
قَالَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِى - أَوْ قَالَ أُمَّةَ
مُحَمَّدٍ - - عَلَى ضَلاَلَةٍ
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allâh tidak akan mengumpulkan umatku –atau umat Muhammad-
di atas kesesatan”. [HR. Tirmidzi; dishahihkan oleh al-Albâni]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah tidak
menjadikan perkataan seseorang dari mereka ini (yakni para Ulama seperti
imam Mâlik, Syâfi’i, Ahmad, dan lainnya-pen) ma'shûm (terjaga dari
kesalahan) yang wajib diikuti. Bahkan jika mereka berbeda pendapat
tentang sesuatu, mereka mengembalikan kepada Allâh dan Rasul-Nya."
[Minhâjus Sunnah an-Nabawiyah, 4/123]
Kalau dikalangan umat ini tidak ada seseorang yang ma'shûm selain Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ umat, maka perkataan siapa saja
selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan umat ini,
tidak harus diikuti secara mutlak. Jika perkataan itu sesuai dengan
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka diterima, dan jika
bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka
ditolak, siapapun orangnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahuhullah berkata, “Sesungguhnya
perkataan seorang ma'shûm (orang yang terjaga dari kesalahan) tidak akan
kontradiksi. Dan tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ma'shûm dalam perkara yang dia
sampaikan dari Allâh Azza wa Jalla . Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu ma'shûm dalam perkara yang beliau syari’atkan untuk umat
dengan ijma’ kaum Muslimin. Demikian juga umat (Islam) ini ma'shûm dari
bersepakat di atas kesesatan, berbeda dengan selainnya. Oleh karena itu
pendapat imam-imam agama adalah setiap manusia, pendapatnya bisa diambil
dan bisa ditinggalkan, kecuali Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena Allâh telah mewajikan kepada seluruh manusia beriman
kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentaatinya, juga
(mewajibkan) menghalalkan apa yang beliau halalkan, dan mengharamkan apa
yang beliau haramkan. Dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Allâh memisahkan antara orang Mukmin dengan orang kafir, penduduk surga
dengan penduduk neraka, petunjuk dengan kesesatan, dan antara ikut hawa
nafsu dengan ikut kebenaran. Adapun orang-orang Mukmin, penduduk surga,
orang yang mengikuti petunjuk dan kebenaran, mereka adalah orang-orang
yang ittiba’ (mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Sedangkan orang-orang kafir, penduduk neraka, orang yang
mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, mereka adalah orang-orang yang tidak
mengikuti beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam )."
[Majmû’ Fatâwâ, 33/28]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa
mewajibkan taat kepada seseorang selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , dalam seluruh perkara yang dia perintahkan; Dan mewajibkan
orang meyakini kebenaran seluruh perkara yang dia beritakan; dan
menetapkan sifat ma'shûm atau terjaga dari kesalahan dalam seluruh
perkara yang dia perintahkan dan dia beritakan dari perkara agama, maka
dia telah menjadikan pada orang tersebut tandingan dan keserupaan bagi
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan para rasul sesuai dengan kadarnya. Baik yang dijadikan
tandingan bagi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah
sebagian sahabat, atau kerabat Nabi, atau imam, atau syaikh, atau
pemimpin dari kalangan para raja dan lainnya. [Jâmi’ur Rasâ'il, 1/273]
Beliau juga berkata, “Ini termasuk perkara yang disepakati oleh Ulama
Islam: yaitu wajib mengimani semua Nabi, dan barangsiapa mengingkari
satu orang Nabi maka dia kafir, dan barangsiapa mencela seorang Nabi,
dia wajib dibunuh berdasarkan kesepakatan Ulama. Adapun kepada selain
Nabi, maka tidak demikian, baik selain Nabi itu dinamakan wali, imam,
orang bijak, Ulama’, atau lainnya. Barangsiapa menjadikan selain
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang ma'shûm,
yang wajib diimani semua perkataannya, maka dia telah memberikan
kepadanya makna/sifat kenabian, walaupun dia tidak memberikan lafazh
kenabian kepadanya (yakni tidak menyebutnya sebagai Nabi-pen).”
[Minhâjus Sunnah, 6/187-188]
TERMASUK KESESATAN RAFIDHAH
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, kita melihat bahwa berbagai
firqah yang menyimpang memiliki keyakinan kema'shûman untuk selain para
Nabi, dan mereka tidak mampu mendatangkan dalil yang shahih (kuat) dan
sharîh (jelas) yang mendasari aqidah mereka ini. Dalil mereka hanya
syubhat dan hawa nafsu belaka.
Di antara kelompok menyimpang itu adalah Syi’ah Imâmiyah. Mereka
meyakini kema'shûman para imam dua belas mereka, bahkan mereka tinggikan
derajat para imam itu melebihi derajat para Nabi dan malaikat. Mereka
menyatakan bahwa ‘ishmah (kema'shûman) adalah, “Kekuatan dalam akal yang
menghalangi pemiliknya dari menyelisihi beban (aturan syari’at) padahal
dia mampu menyelisihi”. [asy-Syî’ah fii ‘Aqâidihim wa Ahkâmihim, hlm.
322; karya al-Kazhimi a-Qazwaini]
Khumaini menyatakan, “Sesungguhnya kema'shûman yang dimiliki oleh
al-ma’shûm (imam dua belas menurut Syi’ah-pent) hanyalah karena sebab
kedudukan yang tinggi dan maqâm yang terpuji yang tidak dicapai oleh
malaikat yang dekat (dengan Allâh) dan Nabi yang diutus. Juga dengan
sebab kekuasaannya (imam ma'shûm) yang berkaitan dengan alam semesta,
yang seluruh atom alam ini tunduk terhadap kekuasaannya.” [al-Hukûmah
al-Islâmiyyah, hlm. 47]
Lihatlah bagaimana ghuluwnya kelompok Syi’ah ini, sampai mereka
mengangkat derajat imam mereka ke derajat ketuhanan. Demi Allâh, ini
adalah syirik yang nyata. Ya Allâh ! Tunjukkanlah dan tetapkanlah kami
di atas jalan yang lurus.
TERMASUK KESESATAN SHUFI
Sebagaimana Syi’ah, maka kelompok shûfiyah juga menetapkan sifat ma'shûm
kepada panutan mereka yang dianggap sebagai wali. Walaupun mereka
mengecoh umat dengan mengunakan istilah hifzh (penjagaan) sebagai ganti
istilah ‘ishmah (kema'shûman).
al-Qusyairi, seorang tokoh shûfi, menerangkan definisi wali sebagai
berikut, “Orang yang selalu taat tanpa diselingi kemaksiatan, dan bahwa
Allâh mengurusi hifzh (penjagaan) terhadapnya, sehingga Allâh tidak
menciptakan khidzlân (penghinaan), yaitu kemampuan berbuat kemaksiatan.”
[ar-Risâlah al-Qusyairiyah; dinukil dari Kitab Auliyâ'ullâh baina
al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh
Abdurrahman Dimasyqiyyah]
Karena keyakinan demikian, maka tidak aneh dalam praktek perbuatan di
kalangan shufi seorang mursyid (pembimbing; syaikh; guru) dianggap
memiliki sifat ma'shûm, sehingga seorang murid sama sekali tidak boleh
membantah gurunya, walaupun di dalam hatinya! Sehingga tidak ada amar
ma’ruf dan nahi mungkar terhadap guru.
Mereka mengatakan, “Diantara adab murid terhadap gurunya adalah tidak
membantahnya dalam seluruh perkara yang dilakukan oleh guru, walaupun
zhahirnya haram. Dan seorang murid di hadapan gurunya menjadi seperti
mayit di hadapan orang yang memandikannya.” [Tanwîrul Qulûb fii
Mu’âmalati ‘Allâmil Ghuyûb, hlm. 479 dan 529; dinukil dari Kitab
Auliyâ'ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi,
karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]
Al-Qusyairi berkata, “Barangsiapa menemani seorang guru, kemudian dia
membantahnya dengan hatinya, maka lepaslah perjanjian persahaatan
(dengan gurunya itu).” [ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm. 150; dinukil
dari Kitab Auliyâ'ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni
as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]
Dengan penyimpangan pemahaman adanya selain Nabi yang memiliki sifat
ma'shûm, kemudian diiringi dengan ketaatan mutlak untuknya, maka
sesungguhnya hal ini akan memunculkan berbagai penyimpangan dalam
beragama, fanatisme guru dan golongan, bahkan perpecahan dan keburukan
lainnya. Maka tidak ada jalan selamat kecuali kembali kepada agama yang
dibawa oleh Rasul yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , yang telah diamalkan oleh para muridnya yang utama, para
sahabat yang setia, dengan meninggalkan seluruh bid’ah (perkara baru) di
dalam agama, yang telah merusak keindahan Islam yang telah sempurna.
Semoga Allâh menunjukkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran, dan
memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya. Dan semoga Allâh
menampakkan kepada kita kebatilan sebagai kebatian dan memberikan kepada
kita kekuatan untuk meninggalkannya. Amiin.
Home »
» YANG MA'SHUM HANYA NABI......BUKAN HABIB,PAK USTAD,ATAU WALI...JANGAN TERTIPU!!
YANG MA'SHUM HANYA NABI......BUKAN HABIB,PAK USTAD,ATAU WALI...JANGAN TERTIPU!!
Written By phyton.id on Minggu, 30 Juni 2013 | 11.06
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar