RAMBU RAMBU UNTUK SEORANG PEMIMPIN
Pertama : Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan
semata-mata hanya untuk menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan
demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika
melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal
tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang pemimpin tergantung
kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk memperkaya
diri atau semata-mata Lillahi Ta'ala.
Kedua : Pemimpin Harus Dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk
komunitas tertentu, skala kecil, apalagi untuk masyarakat yang lebih
luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوا أَمْرَهُمْ اِمْرَأََةٌ.
"Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita".[1]
Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan
kondisi yang dapat menghalanginya untuk melaksanakan tugas. Wanita
memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi
tertentu, misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.
Ketiga : Tidak Meminta Jabatan.
Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi
tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan
sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam
pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi
mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun
merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan
kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada
hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ.
"Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat
kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat)
sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan" [2]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang
sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya
memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung
jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا
أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ
مَالَ يَتِيمٍ.
"Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau
mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau
memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".[3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سمرة لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُوتيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتيتَهَا عَنْ
غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا. وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ
فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ
الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.
Ya 'Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila
jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka
jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan
itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam
mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu
engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan
kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik".[4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan
salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّا- والله- لَا نُوَلِّي هَذَا الأمرَ أحدًا سَأَلَهُ وَلَا أحدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.
"Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya." [5]
Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani
melakukan apa saja demi mendapat jabatan atau demi mempertahankannya.
Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk
mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq
Allah Azza wa Jalla, sehingga sepenuhnya akan dibebankan kepadanya.
Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar demi
mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan
kepada orang yang tidak menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka
Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya dalam melaksanakan
tanggung jawab tersebut.
Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan
kepada kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja
Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ
"Yusuf berkata: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)". [Yûsuf/12:55].
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari
Syikh 'Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: "Padahal
sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari
Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
"Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf /12:55].
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti
orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang
pandai menjaga). Begitu juga kata al-'Âlîm (orang yang mengetahui)
dengan kata al-'Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan
benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia
Al-Qur`ânul-Hakim!
Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya
menerima jabatan-jabatan politik -meski sistem parlemen tersebut kafir
dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tadi
sebagai alasannya. Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak
pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan
kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan
jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran,
pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا
كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
"Dan Raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai
orang yang rapat kepadaku," maka tatkala Raja telah bercakap-cakap
dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan
dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal,
seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran.
Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi
manusia. Wallahul-Musta'an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama
sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf
Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara
syar'i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan
mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjelaskan dalam firman-Nya:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ
اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ
عَلِيمٌ
"Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja,
kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi
yang Maha Mengetahui". [Yûsuf/12:76].[7]
Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan
kaidah Ushul Fiqih: "Syariat sebelum kita tidak lagi menjadi syariat
bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita". Dalam masalah ini
perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita.
Karena kita dilarang meminta jabatan, sebagaimana disebutkan dalam
hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku: "Wahai
Abdur-Rahmân, janganlah meminta jabatan. Jika engkau diberi jabatan
karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi
jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam
melaksanakannya". Muttafaqun 'alaihi.
Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat
rekomendasi dari Allah, dan beliau Alaihissallamhanya melaksanakan yang
diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum:
"Karena, jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau
akan dibebani" kecuali orang-orang yang dijaga oleh wahyu sehingga bisa
terhindar dari kesalahan.
Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang
sedang atau akan berlaku. Bahkan sebelum menduduki jabatan, mereka harus
bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku. Begitulah
kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh
aneh orang yang ingin menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran
baru.
Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban:
1. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari,
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Adapun perkataan "jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir)", ini merupakan penjelasan tentang
spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.
2. Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat
melaksanakan syariat Islam secara baik. Dua hal ini mustahil dapat
diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.
3. Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena
kedudukan beliau selaku rasul. Beliau terhindar dari gangguan-gangguan
yang bisa menimpa orang lain.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin 'Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
pulang dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umarpun berkata
kepadanya: "Hai musuh Allah dan kitab-Nya, apakah engkau telah
mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Aku bukan musuh Allah dan
kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi Allah dan
kitab-Nya!
"Lalu dari mana harta sebanyak itu?" selidik Umar.
"Dari ternak kuda-kudaku beranak pinak, dari hasil bumiku, dan dari
hadiah yang datang terus-menerus," jawab Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu. Merekapun menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu
Hurairah Radhiyalahu 'anhu tadi.
Setelah itu 'Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilnya kembali untuk diserahi
jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata
kepadanya: "Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang
lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf
Alaihissallam?!"
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: "Yûsuf Alaihissallam adalah
seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku,
hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan
sebagai akibat dari dua perkara".
"Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!" sergah Umar Radhiyallahu 'anhu.
Jawab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu "Saya takut berkata tanpa ilmu dan
memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku
dirampas dan kehormatanku dicemarkan!"[8]
4. Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan
dengan syariat kita. Dalam masalah ini meminta jabatan seperti yang
dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.
5. Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi
kerasulan. Sekiranya ada yang boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf
Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu ulama
mujtahid.
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: "Jika tindakan semacam itu
dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan dirinya untuk
menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal
itu termasuk menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan
rasa syukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkan itu" [9]. Wallahu
a'lam.
Keempat : Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang
pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah". [al-Mâ`idah/5:49].
Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas
pokok yang harus dilaksanakan seorang pemimpin. Jika ternyata ia
menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk
mengemban jabatan itu.
Kelima : Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan". [Shâd/38:26].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
"...dan (menyuruh kamu) agar senantiasa bersikap apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .."
[an-Nisâ`/4:58].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ
مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ
يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا.
"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, pada hari Kiamat kelak, ia
berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza wa Jalla
yang Maha pengasih. Kedua tangan Allah sebelah kanan. (Mimbar tersebut)
diberikan untuk orang yang bersikap adil dalam berhukum mereka, keluarga
mereka, dan yang mereka kuasai" [10]
Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib bersikap adil terhadap rakyatnya
dan memberikan perlakuan yang sama di antara mereka. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
"... Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." [al-Mâ`idah/5:8].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَمْيرٍ عَشَرَةٍ إِلَّا وَهُوَ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مَغْلُولًا حَتَّى يَفُكَّهُ العَدْلُ أَوْ يُوْبِقَهُ الجورِ.
"Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan
didatangkan dalam keadaan tangan yang terbelenggu pada hari Kiamat.
Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya
akan membuat dirinya celaka" [11].
Keenam : Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya.
Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan
masyarakat, mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan
keluhan mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ
وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَ حَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ.
"Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari
orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir,
kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan
hajatnya" [12]
Hadits ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam terhadap pemimpin yang menutup pintu dari rakyat yang
dipimpinnya.
Ketujuh : Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya
tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia maupun agama.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ.
"Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian
ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati mereka, kecuali
pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka" [13].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ
وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
"Tidaklah seorang hamba yang mendapat amanah dari Allah untuk mengayomi
rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dalam keadaan menipu
rakyatnya, kecuali Allah telah haramkan surga baginya". [14]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
"Dari Tamim ad-Daari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Diin (agama) itu adalah nasihat," kami bertanya: "Untuk siapa?" Beliau
menjawab: "Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, pemimpin kaum
muslimin dan rakyatnya".[15]
Masyarakat juga harus memberikan nasihat kepada pemimpin dan tetap
mentaatinya, selama mereka tidak disuruh kepada perkara yang dilarang
Allah. Jangan sampai mereka melepaskan diri dari ketaatan dan melakukan
pemberontakan walau bagaimanapun buruknya penguasa itu. Kecuali bila
terlihat kekufuran yang nyata, dan ada dalil yang jelas tentang
pengkafiran tersebut dari Allah.
Kedelapan : Pemimpin Jangan Menerima Hadiah.
Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir
bisa dipastikan, dibalik itu mereka ingin agar sang pemimpin dekat
dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah menerima
hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
الهَدِيَّةُ إِلَى الإِمَامِ غَلُوْلٌ
"Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan" [6].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
هَدَايَا العُمَّالِ غَلُوْلٌ
"Hadiah-hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah pengkhianatan".[17]
Demikian juga, semua orang yang bertugas melayani urusan kaum muslimin,
ia tidak boleh menerima hadiah dan jangan ada sedikitpun yang
disembunyikannya. Berapapun hadiah yang diterimanya, harus ia serahkan
kepada pemerintah. Jangan ada sedikitpun yang dijadikan sebagai milik
pribadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا مِخْيَطًا فَمَا
فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk mempimpin lalu
ia menyembunyikan satu jarum atau lebih, maka pada hari Kiamat nanti ia
akan datang membawanya" [18]
Salah seorang gubernur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada yang
berkata: "Yang ini untuk kalian dan yang ini dihadiahkan untukku,"
lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا
فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي
بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا.
"Amma ba'du, mengapa pejabat yang kami angkat berkata: "Yang ini dari
hasil pekerjaan kalian, sementara yang ini khusus dihadiahkan untukku?"
Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia tunggu,
apakah masih ada orang yang mau memberikan hadiah untuknya ataukah
tidak?" [19]
Kesembilan : Seorang Pemimpin Harus Mengambil Penasihat dari Kalangan Orang-Orang Shâlih.
Seorang pemimpin harus mengambil penasihat dari kalangan orang-orang
shâlih yang mampu mengingatkannya saat ia lupa, dan membantunya saat
teringat, selalu mengawasinya agar bersikap baik dan berlaku adil,
memberinya nasihat dan pengarahan, serta mendorongnya untuk berbuat baik
dan menjaga ketakwaan. Dengan cara ini, maka semua urusan pasti lurus.
Adapun penasihat yang buruk, tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan
darinya. Karena mereka tidak dapat membantu untuk berbuat kebajikan,
bahkan akan membantu setan untuk menggelincirkan si pemimpin. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا
كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ
عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ تَعَالَى.
"Tidak ada nabi yang Allah utus, dan tidak pula ada seorang pemimpin
yang Dia angkat, kecuali mereka mempunyai dua jenis teman dekat. Teman
yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya dalam
berbuat baik, dan teman yang menyuruhnya berbuat untuk jahat serta
selalu mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Orang yang
selamat, ialah orang yang memang dijaga Allah Subhanahu wa Ta'ala" [20].
Kesepuluh : Seorang Pemimpin Harus Bersikap Ramah Terhadap Rakyat.
Sebagaimana dikatakan para ulama salaf, seorang pemimpin harus bersikap
sebagai anak terhadap orang-orang tua, sebagai saudara untuk yang
sebaya, dan sebagai orang tua terhadap anak-anak. Ia harus bersikap
lembut, ramah serta menyayangi mereka, dan tidak membebaninya dengan
urusan yang tidak mereka sanggupi. Dengan sikap ini, sebagai pemimpin,
ia berhak mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ
فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ
بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
"Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan
mereka, maka timpakanlah kesulitan kepadanya. Dan barang siapa yang
menjadi penguasa umatku, lalu ia menyayangi mereka, maka sayangilah
ia.". [21]
Kesebelas : Jujur Menjalankan Semua Urusan yang Berkaitan dengan Kaum Muslimin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus membantu ahli sunnah serta
membasmi ahli bid'ah dan pelaku kerusakan, mengibarkan panji amr ma'ruf
nahi mungkar serta panji-panji jihad fi sabilillah, berusaha dengan
sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan
lain-lain.
Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara
kontinyu, memperhatikan cara mereka menjalankan tugas, dan sikap mereka
terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan
semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi
laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang telah
dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan
kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maraji`:
1. Al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir, Ibnul-Muqaffa'.
2. Al-Adâbusy-Syar'iyyah, Ibnu Muflih.
3. Al-Ahkâmu as-Sulthaniyyah, al-Mawardi.
4. Ath-Thuruqul-Hukmiyah, Ibnul-Qayyim.
5. Fathul-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.
6. Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar.
7. Madârikun-Nazhar fis-Siyasatisy-Syar'iyyah, 'Abdul-Mâlik ar-Ramadhâni.
8. Mausu'ah al-Adabul-Islamiyyah, 'Abdul-'Aziz bin Fathis Sayyid Nadâ`.
9. Shahîh Jami' ash-Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
10. Sirah Nabawiyah Shahîhah, Dr.Akram Dhiya' al-'Umari.
11. Sirâjul-Mulûk, ath-Thurthuusyi.
12. Silsilah Ahâdits Shahîhah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu 'Ubaidah Masyhur Hasan Salman.
13. Syarah Shahîh Muslim an-Nawawi.
14. Tafsîr Adhwâ`ul Bayân, Muhammad al-Amin asy-Syanqithi.
15. Tafsîr al-Qurthubi.
16. Tafsîr Ibnu Katsîr.
keterangan:
[1]. HR al-Bukhâri, 4425, 7099, dari Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu.
[2]. HR al-Bukhâri, 7148, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[3]. HR Muslim, 1826, dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[4]. HR al-Bukhâri (7147) dan Muslim (1652), dari 'Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu 'anhu.
[5]. HR al-Bukhâri (7149) dan Muslim (1733), dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Lihat Bahjatu Qulubil Abrâr, Syaikh Abdur-Rahmân as-Sa'di, hlm. 150-151.
[7]. Lihat Tafsir al-Qurthubi, IX/238.
[8]. Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dalam Thabaqât al-Kubra, IV/335.
[9]. Jami' Bayanil-'Ilmi wa Fadhlihi, I/176.
[10]. HR Muslim, 1827, dari 'Abdullah bin Amr Radhityallahu 'anhu.
[11]. HR al-Baihaqi dalam kitab al-Kubra (X/96) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu. Hadist ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi'
(5695).
[12]. HR Ahmad (IV/231), at-Tirmidzi (1332) dari 'Amr bin Murah.
At-Tirmidzi (1332) dari Abu Maryam. Hadits ini terdapat dalam Kitab
Shahîh al-Jâmi' (5685).
[13]. HR Muslim, 142, dari Ma'qal bin Yasâr Radhiyallahu 'anhu
[14]. HR al-Bukhâri (7150, 7151) dan Muslim (142).
[15]. HR Muslim, 55, dari Tamim bin Aus Radhiyallahu 'anhu.
[16]. HR ath-Thabraani dalam kitab al-Kabir (XI/11486) dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi'
(7054).
[17]. HR Ahmad (V/424), al-Baihaqi (X/138) dari Abu Humaid Radhiyallahu
'anhu . Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi' (7071).
[18]. HR Muslim, 1833, dari 'Adi bin Umair Radhiyallahu 'anhu.
[19]. HR al-Bukhâri (1500, 6979) dan Muslim (1832) dari Abu Humaid as-Sâ'di.
[20]. HR al-Bukhâri, 6611, 7198, dari Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu.
[21]. HR Muslim, 1848, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.
Home »
» FIQH POLITIK
FIQH POLITIK
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 10.13
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar