PEMIMPIN YANG IDEAL
Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena
rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin."
Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada
seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia
rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin)
bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!" Pemimpin yang paling
baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat
bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak
yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya.
Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan.
Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah
pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang
bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang
orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah
merasa aman." Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada
al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah,
hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat
merasa takut terhadapmu".
RAMBU BAGI SEORANG PEMIMPIN
Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi
tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan
sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam
pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi
mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun
merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan
kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada
hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kalian
selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian
menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik
susuan dan sejelek-jelek penyapihan". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar
Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan
serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau
bersabda : "Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku
suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah
engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak
yatim".
TEPAT DALAM MEWUJUDKAN PEMIMPIN YANG ADIL
Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna. Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan. Tercermin dalam surat an-Nahl/16 ayat 89, Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitâb (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri" [an-Nahl/16:89]
Bahkan, Islam telah mengatur dan menjelaskan tata cara buang air.
Demikian pula, Islam telah mengatur dan menjelaskan masalah
perpolitikan. Islam memberikan konsep yang jelas untuk mewujudkan
kepemimpinan yang adil dan benar. Dan berikut, tulisan ini akan membahas
secara ringkas, bagaimana mewujudkan kepemimpinan tersebut.
Sebagaimana fenomena yang nampak di masyarakat kita, terdapat dua kubu
di tengah kaum muslimin yang berjuang dan menghabiskan waktunya untuk
mewujudkan kepemimpinan yang adil. Kubu yang pertama, terdiri dari
orang-orang yang menghalalkan politik non Islami, atau paling tidak
berkecimpung di dalamnya. Kubu yang kedua, terdiri dari orang-orang yang
menghalalkan darah para penguasa (pemerintahan), atau paling tidak
berusaha menggulingkannya.
Manakah di antara kedua kubu ini yang sesuai dengan syariat? Jika kedua
kubu itu tidak sesuai dengan syariat, lantas bagaimana sikap kita?
KILAS BALIK SEJARAH
Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kita menengok ke
masa lalu. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai
berdakwah hingga akhirnya tercipta sebuah daulah, yaitu Daulah
Islamiyah, karena beliau adalah suri teladan kita.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di tengah-tengah kaum
yang sangat buruk agama, masyarakat dan perpolitikannya. Meski
keberadaannya di tengah kaum yang sedemikian parah, ternyata, ketika
berada di Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
berusaha untuk melakukan pemberontakan, merebut kekuasaan, ataupun
menggunakan cara-cara licik untuk menggulingkan atau membunuh
pemimpin-pemimpin kaum musyrikin Makkah. Mengapa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak menggunakan cara tersebut? Jawabannya, karena
cara tersebut bukan cara yang tepat.
Bahkan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berdakwah
secara terang-terangan dan banyak manusia yang mulai masuk Islam, maka
kaum Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah untuk membujuknya.
'Utbah bin Rabi'ah berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا حَتَّى لاَنَقْطَعَ
أَمْرًا دُوْنَكَ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا
"Jika engkau menginginkan kedudukan, maka kami akan menjadikanmu sebagai
tuan kami, sehingga kami tidak akan memutuskan suatu perkara tanpamu.
Jika engkau menginginkan kerajaan, maka kami akan menjadikanmu sebagai
raja kami" [1].
Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima tawaran itu?
Jawabannya, adalah tidak! Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak menerimanya? Padahal dengan demikian, sepertinya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa berdakwah dengan menggunakan
kekuasaannya. Jawabannya, karena cara tersebut bukanlah cara yang tepat.
Sebagai buktinya adalah Raja Najasyi rahimahullah yang telah masuk
Islam; kendati sudah berada di tampuk kepemimpinan, tetap saja
kekuasaannya tidak bisa dipergunakan untuk merubah masyarakatnya.
Beda halnya ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di
Madinah, pada saat itu, kaum muslimin cukup banyak dan memiliki kekuatan
iman, sehingga dengan mudahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengatur mereka dan membentuk sebuah Daulah Islamiyah, yaitu
daulah yang sangat kita dambakan untuk sekarang ini.
KESHÂLIHAN PEMERINTAH TERGANTUNG KEPADA KEADILAN DAN KESHÂLIHAN MASYARAKATNYA
Ketahuilah, keadilan dan keshâlihan pemerintah tergantung kepada
keadilan dan keshâlihan masyarakatnya. Dalam hal ini berlaku hukum
sebanding. Jika masyarakat tidak adil dan tidak shâlih, bagaimana
mungkin mereka mengharapkan pemerintah yang adil dan shâlih? Cobalah
kita renungi ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan demikianlah kami jadikan
sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain
disebabkan apa-apa yang mereka usahakan". [al-An'âm/6:129].
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan jika Kami hendak membinasakan
suatu negeri maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kefasikan
dalam negeri itu, maka sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan
Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya".
[al-Isrâ`/17:16].
Ayat ini sangat jelas menerangkan, kefasikan masyarakat suatu negeri bisa membinasakan negeri tersebut.
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan (penduduk) negeri itu telah
kami binasakan ketika mereka berbuat kezhaliman". [al-Kahfi/18:59].
Begitu pula disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَتْرُكُ
الأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْىَ عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ « إِذَا
ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِى الأُمَمِ قَبْلَكُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا ظَهَرَ فِى الأُمَمِ قَبْلَنَا قَالَ « الْمُلْكُ فِى
صِغَارِكُمْ وَالْفَاحِشَةُ فِى كِبَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِى رُذَالَتِكُمْ
».
"Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah pernah
ditanya, 'Ya, Rasulullah! Kapankah amar ma'ruf dan nahi mungkar akan
kami tinggalkan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Jika
tampak di tengah-tengah kalian, apa-apa yang tampak di tengah-tengah
umat-umat sebelum kalian,' Kami pun bertanya: 'Ya Rasulullah! Apa yang
tampak di tengah-tengah umat sebelum kami?' Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata, '(Ketika) kerajaan/kekuasaan berada di tangan
anak-anak muda [2] di antara kalian, perbuatan-perbuatan fâhisy (dosa
besar) dilakukan oleh orang-orang yang tua[3] di antara kalian, dan ilmu
disebarkan oleh orang yang hina[4] di antara kalian" [5]
Hadits ini menjelaskan keterkaitan antara perbuatan dosa dengan amar
ma'ruf nahi mungkar. Ketika amar ma'ruf nahi mungkar sudah ditinggalkan,
maka ini menjadi tanda kebinasaan suatu kaum.
Al-Walîd ath-Tharthûsi rahimahullah berkata: "Sampai sekarang masih
terdengar orang-orang berkata, 'amalan-amalan kalian adalah
pekerja-pekerja kalian', sebagaimana kalian sekarang ini; maka seperti
itulah kalian akan dipimpin. Di dalam Al-Qur`ân terdapat ayat yang
semakna dengan ini (Qs al-An'âm/6 ayat 129, seperti telah disebutkan di
atas)'."
'Abdul-Mâlik bin Marwân berkata,"Wahai, rakyatku! Bersikap adillah
kepada kami! (Bagaimana mungkin) kalian menginginkan dari diri-diri kami
seperti yang dijalankan oleh Abu Bakar dan 'Umar, sedangkan kalian
tidak mengerjakan seperti apa-apa yang mereka amalkan?!"[6]
Setelah kita mengetahui, bahwa keshalihan dan keadilan pemerintah
tergantung pada keshalihan dan keadilan masyarakatnya, maka tidak ada
jalan lain untuk mewujudkannya kecuali dengan melakukan perubahan
terhadap masyarakatnya.
BERITA DARI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TENTANG KEADAAN UMAT DI MASA DATANG DAN CARA MENGATASINYA
Keadaan masyarakat seperti yang ada sekarang ini sudah dikabarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula cara
penyelesaiannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ »
"Jika kalian berjual beli dengan cara 'înah [7] dan mengambil ekor-ekor
unta serta kalian telah ridho dengan pertanian[8] dan meninggalkan
jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak
akan menghilangkannya sampai kalian kembali kepada agama kalian"[9].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ
تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ ،
فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا
أَهْلَكَتْهُمْ »
"Demi Allah! Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan dari diri kalian.
Akan tetapi, aku takut jika dunia dilapangkan kepada kalian, sebagaimana
dilapangkan kepada umat-umat sebelum kalian, sehingga kalian
berlomba-lomba (untuk mendapatkannya) sebagaimana mereka dulu
berlomba-lomba, dan dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana
menghancurkan mereka". [10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا
تَدَاعَى الأُكَلَةُ عَلَى قَصْعَتِهَا ». قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ قَالَ « أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ
كَثِيرٌ وَلَكِنْ تَكُونُونَ غُثَاءً كَغُثَاءِ السَّيْلِ يَنْتَزِعُ
الْمَهَابَةَ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيَجْعَلُ فِى قُلُوبِكُمُ
الْوَهَنَ ». قَالَ قُلْنَا وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الْحَيَاةِ
وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ »
"Sebentar lagi umat-umat (agama lain) akan menyerbu kalian dari segala
penjuru sebagaimana orang-orang yang makan menyerbu piring makannya,"
kami pun bertanya, "Apakah pada saat itu jumlah kami sedikit?" Beliau
berkata, "Jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi, kalian akan
menjadi buih-buih seperti buih-buih air. Allah akan mencabut rasa takut
atau segan dari hati musuh-musuh kalian, serta menjadikan al-wahn di
hati-hati kalian." Kami bertanya, "Apakah al-wahn itu?" Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Cinta kehidupan (dunia) dan
takut kepada kematian" [11].
Hadits-hadits di atas menerangkan keadaan kaum muslimin, bahwasanya
mereka akan terlena dengan dunia, bodoh dan jauh dengan agama, hatinya
tidak pernah terbetik untuk berjihad, sehingga Allah akan menjadikan
mereka hina dan binasa, dan menjadikan musuh-musuh tidak takut dengan
mereka. Benarlah yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Semua yang disebutkan itu telah benar-benar
terjadi.[12]
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak akan kembali jaya kecuali jika
mereka kembali kepada agamanya. Tidak lain, yaitu dengan melakukan
tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan/pengajaran).[13]
Syaikh 'Abdul-Mâlik Ramdhâni hafizhahullâh menjelaskan, "Tashfiyah,
yaitu membersihkan Islam dari ajaran-ajaran lain yang masuk ke dalamnya.
Dan tarbiyah, yaitu mendidik atau mengajarkan Islam yang sebenarnya
(asli) kepada manusia, yaitu men-tashfiyah tauhid dari syirik,
men-tashfiyah sunnah dari bidah, men-tashfiyah fikih dari
pendapat-pendapat baru yang lemah, men-tashfiyah akhlak dari perilaku
umat-umat yang binasa dan hina, dan men-tashfiyah hadiits-hadiits Nabi
yang shahîh dari yang dusta dan palsu".[14]
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, "Wajib untuk diketahui, mengapa
kaum muslimin pada saat ini tidak berhukum dengan hukum Islam kecuali di
beberapa daerah saja? Mengapa para dai Islam tidak menerapkan Islam
pada diri mereka sendiri sebelum menyuruh orang lain untuk
memperaktekkan Islam di negara-negara mereka? Jawabannya cuma satu,
yaitu, karena mereka tidak mengenal Islam kecuali secara global saja,
atau mereka tidak men-tarbiyah diri mereka dan orang lain berdasarkan
Islam dalam kehidupan, akhlak, dan muamalah mereka." [15]
KENYATAAN PAHIT
Nikmat menjadi thalibul-ilmi adalah nikmat yang sangat besar. Akan
tetapi, sangat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya. Betapa banyak
ayat, hadits dan atsar yang menunjukkan hal itu, sebagaimana tertulis di
dalam buku-buku agama. Akan tetapi, amat disayangkan, orang-orang yang
sudah diberi hidayah oleh Allah untuk menuntut ilmu yang hak, yang sudah
mempelajari akidah yang benar dan agama yang kuat, mereka banyak
disibukkan dengan perkara duniawi dan politik non Islami. Akibatnya,
mereka yang tadinya berdakwah di masjid-masjid dan rumah-rumah, sekarang
justru meninggalkan masjid dan masyarakatnya. Yang tadinya rajin
belajar dan membaca buku di perpustakaan, sekarang justru meninggalkan
buku dan perpustakaannya. Yang tadinya memakai pakaian yang islami,
sekarang justru memakai pakaian Nashrani. Suatu kenyataan yang sangat
pahit!
Tidak sedihkah mereka melihat keadaan umat ini? Politisi-politisi sangat
gampang "dicetak", teknisi-teknisi sangat mudah "ditelurkan",
dokter-dokter sangat "ringan dimunculkan", tetapi untuk mencetak para
ustadz, para dai dan ulama tidaklah mudah. Kalau bukan mereka, para
penuntut ilmu agama, maka siapa lagi yang akan memperbaiki umat ini.
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. (Qs. ar-Ra'd/13:11).
Dengan demikian, dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan, kedua
kubu yang telah disebutkan atas, tidaklah berada dalam kebenaran dan
tidak sesuai dengan syariat. Dan tidak ada cara yang tepat untuk
mewujudkan kepemimpinan yang adil, kecuali dengan melakukan tashfiyah
dan melakukan tarbiyah kaum muslimin.
Syaikh 'Abdul-Mâlik Ramadhâni hafizhahullâh berkata: "Permisalan dua
kubu tersebut, seperti dua orang petani yang mendatangi suatu lahan yang
menghasilkan buah yang jelek. Yang satunya menanam tanaman (di lahan
itu), setiap kali tanaman itu berbuah matang, maka dia potong tanaman
itu. Yang satunya lagi menanam tanaman, memperbaiki akar-akarnya dan
selalu menyiraminya. Di antara mereka mana yang lebih bagus?"[16]
Jawabannya, tidak ada yang bagus. Orang yang kedua kendati menghasilkan
buah, maka buahnya bukanlah buah yang bagus, karena lahan yang dipakai
tidaklah cocok untuk bercocok tanam.
SEDIKIT NASIHAT
Oleh karena itu, sebagai pencari kebenaran hakiki, jangan sampai kita
mendahulukan 'âthifah (perasaan) setiap menimbang sesuatu. Mengikuti
'âthifah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyak kaum
muslimin mengikuti hawa nafsunya, sehingga pada akhirnya tersesat dari
jalan yang benar.
Syaikh al-'Utsaimin rahimahullâh mengingatkan, "Jika kita ingin
membangkitkan kaum muslimin dari tidur dan kelalaiannya, maka kita harus
berjalan sesuai dengan jalan-jalan yang tepat dan dengan asas yang
kuat. Karena, kita semua menginginkan agar hukum-hukum (yang ada semua
kembali) kepada Allah, dan kita menginginkan agar agama Allah tegak di
atas bumi ini. Ini adalah tujuan yang sangat besar. Akan tetapi, kalau
hanya dengan 'âthifah (perasaan). maka hal itu tidak akan pernah
terwujud. Kita harus mengikat 'âthifah dengan syariat dan akal kita."
[17]
Home »
» politik dalam pemahaman para sahabat nabi
politik dalam pemahaman para sahabat nabi
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 09.19
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar