Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah tugas para nabi (semoga
kesejahteraan dilimpahkan atas mereka), dan jalan para ulama
rabbaniyyin, oleh karena itu berdakwah kepada Allah adalah sebuah amal
pendekatan diri kepada Allah yang paling utama, dan paling agung
kedudukannya.
Allah berfirman.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata :
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”[Fushilat/41 :
33]
Dan berdakwah kepada Allah itu, harus benar tujuannya, bersih manhajnya
(caranya), inilah jalan dakwah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan siapa saja yang mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan baik, sebagaimana firman Allah.
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik”
[Yusuf/12 : 108]
Sungguh para Salafush Shalih kita (semoga Allah merahmati mereka)
menempuh jalan ini, mereka menyuruh kebaikan, mencegah kemungkaran dan
mengajarkan manusia kebaikan, menyampaikan sejelas-jelasnya melalui
berbagai cara, seperti pengajaran, harta, nasehat, fatwa, hukum dan
selainnya.
Dan sungguh Salafus Shalih telah menegakkan dakwah ini untuk
mengharapkan wajah Allah, mereka tidak menginginkan dari manusia balasan
dan tidak pula ucapan terima kasih, dan disaat itu juga mereka menetapi
keselamatan manhaj dengan mengikuti dan meninggalkan perbuatan bid’ah.
Kebangkitan Islam saat ini membutuhkan pengetahuan pada contoh-contoh
perbuatan dan fenomena yang nyata dari dakwah Salafus Shalih : agar
keadaan-keadaan mereka itu menjadi pendorong serta pemberi semangat
untuk mencontoh mereka, dan berjalan diatas uslub (metode) mereka.
Salah seorang ulama berkata : “Barangsiapa melihat sejarah Salafush
Shalih pasti ia mengetahui kekurangannya, dan ketertinggalannya dari
derajat seorang manusia”.
Dan makalah ini berisikan fenomena-fenomena dakwah dari kehidupan
Salafush Shalih, kami akan memaparkannya sebagaimana yang berikut ini.
Habib Al-Ajami adalah salah seorang penduduk Basrah, Pedagang berharta,
suatu ketika ia menghadiri majelis Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah
merahmati beliau) dan mendengarkan nasehatnya, maka nasehat itu merasuk
dalam hati Habib Al-Ajami, semenjak itulah Habib Al-Ajami menjadi
seorang yang paling zuhud dan ahli ibadah di kota Basrah.
Inilah kisahnya untukmu secara rinci.
‘Adalah Al-Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya dimana setiap hari ia
mengadakan majelis ditempat itu. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam
majelisnya dimana ahli dunia dan perdagangan mendatanginya. Dan ia lalai
dengan menjelis Al-Hasan Al-Basri, dan tidak menoleh sedikitpun dengan
apa yang disampaikan oleh Al-Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin
mengetahui apa yang disampaikan Al-Hasan Al-Basri, maka dikatakan
kepadanya : “Dalam majelis Al-Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga,
neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan
ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah
untuk akhirat). Maka perkataan ini menancap dalah hatinya, lalu ia pun
berkata : “Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!”, maka
berkatalah orang-orang yang duduk dalam majelis kepada Al-Hasan Al-Basri
: “Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu
nasehatilah ia. Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri dan Hasan
Al-Basri menghadap kepadanya, lalu ia nasehati Habib Al-Ajami, ia
ingatkan dengan syurga, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk
melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia. Maka Habib
Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, lalu bersedekah 40 ribu
dinar. Dan iapun berlaku qona’ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia
terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia” [1]
Barangkali engkau melihat kejujuran Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah
merahmati beliau) dalam dakwahnya, selamatnya tujuan dakwahnya, hingga
nasehatnya membekas dalam hati Habib Al-Ajami, nasehat yang jujur itu
telah memindahkan dari riuhnya suara di pasar dan perdagangan hingga
menjadi sorang ahli ibadah dan ahli zuhud yang mempunyai do’a yang
mustajab (doa yang dikabulkan) dan karamah yang mulia, sebagaimana ia
seorang ahli bersedekah dan berinfak di jalan Allah Ta’ala.
Alangkah indahnya perkataan Malik bin Dinar dalam permasalahan ini :
“Kejujuran itu nampak dalam hati dalam keadaan lemah, lalu pemilik hati
itupun mencarinya, dan Allah menambahnya hingga menjadikannya berbarakah
pada dirinya, dan menjadilah perkataannya obat bagi orang-orang
bersalah”.
Lalu Malik berkata : “Apakah kalian tidak melihat mereka ? kemudian ia
kembali kepada dirinya : “Ya, benar demi Allah kami telah melihat mereka
itu : Al-Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan semisal mereka itu,
seorang lelaki diantara mereka yang Allah hidupkan perkataannya kepada
sekelompok manusia” [2]
Dan tatkala Zainal Abidin Ali bin Al-Husain mendengar nasehat Al-Hasan
Al-Basri, ia berkata : “Maha suci Allah ini adalah perkataan orang yang
jujur” [3]
Salah seorang ulama ditanya : “Mengapa perkataan Salafus Shalih lebih
bermanfaat dari perkataan kita?” maka iapun menjawab : “Karena mereka
berbicara untuk kemulian Islam, untuk keselamatan jiwa, untuk mencari
ridho Allah Yang Maha Pemurah, sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan
diri, mencari dunia dan mencari keridhaan mahluk” [4]
Dan sebab-sebab seseorang mendapatkan manfaat dari nasehat-nasehat
Al-Hasan Al-Basri dan dari majelis-majelisnya, bahwasanya Al-Hasan
Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) adalah panutan yang baik, dan
tidaklah termasuk orang-orang yang mengatakan apa yang tidak ia
kerjakan.
Dikatakan kepada salah seorang dari teman Al-Hasan Al-Basri : “Apakah
sesuatu yang menyebabkan Al-Hasan Al-Basri mencapai kedudukannya seperti
ini ? Padahal diantara kalian terdapat para ulama dan ahli-ahli fikih ?
Teman Al-Hasan Al-Basri itupun berkata : “Adalah Al-Hasan Al-Basri jika
memerintahkan suatu perkara maka ia adalah seorang manusia yang paling
mengamalkan terhadap apa yang ia perintahkan, dan jika ia melarang
dengan suatu kemungkaran maka ia adalah seorang manusia yang paling jauh
meninggalkan larangan itu” [5]
Dan perkara lain yang wajib kita perhatikan terhadap kejadian diatas,
yaitu perhatian Al-Hasan Al-Basri terhadap masalah-masalah yang halus,
masalah zuhud, dan akhlak, sampai-sampai Al-Hasan Al-Basri mempunyai
majelis khusus dalam majelisnya, yang mana ia tidak berbicara padanya
melainkan makna-makna zuhud dan ibadah. Maka jika seseorang meminta
untuk berbicara masalah lainnya karena merasa jemu, iapun berkata :
“Sesungguhnya kita berkhalwat bersama-sama teman kami adalah untuk
berdzikir” [6]
Sesungguhnya sebagian besar dari nasehat dan wasiat Al-Hasan Al-Basri
adalah tentang mencela dunia, dan larangan dari memanjangkan harapan,
dan perintah untuk mensucikan jiwa, serta membetulkan tujuan-tujuan dan
niat-niat.
Alangkah butuhnya kita kepada semisal nasehat-nasehat itu dan
larangan-larangan dari para ulama, demikianlah para ulama terdahulu,
para pemberi nasehat sebagaimana yang dikatakan Ibnul Jauzi. [7]
Berkata Al-Imam Ahmad bin Hambal : “Alangkah butuhnya kita terhadap penasehat yang jujur” [8]
Dan sungguh Al-Hasan Al-Bashri pada sebagian besar keadaannya bersikap
zuhud terhadap dunia, memperingatkan dari dunia, menghasung untuk
akhirat, dan inilah jalan kenabian yang berpengaruh, sungguh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. yang artinya "Sesungguhnya
sesuatu yang terbesar yang aku khawatirkan kepada kalian adalah apa yang
dikeluarkan dari barakah bumi”, ditanyakan : “Apakah barakah bumi itu ?
Beliau menjawab : “Bunga kehidupan dunia” [9]
Oleh karena itu Al-Hasan Al-Basri berkata : “Demi Allah saya tidaklah
ta’ajjub (heran) dengan sesuatu seperti keheranan saya kepada seseorang
yang tidak menganggap bahwa cinta dunia itu termasuk salah satu dosa
besar, demi Allah sesungguhnya cinta kepada dunia adalah termasuk
dosa-dosa besar, tidaklah cabang-cabang dosa-dosa besar itu melainkan
dengan sebab cinta dunia? Tidaklah berhala-berhala disembah, Allah
Subhanahu wa Ta’ala didurhakai melainkan karena cinta dunia ? (ya). Maka
seorang yang mengetahui tidak akan mengeluh dari kehinaan dunia, dan
tidak akan berlomba-lomba mendekatinya dan tidak akan putus asa karena
jauh terhadap dunia” [10]
Benarlah ucapan Al-Hasan Al-Basri, sebagian dosa-dosa besar adalah
tumbuh dari cinta dunia : mencuri, zina, dengki, berdusta, sombong,
berbuat riya (ingin di puji) dan selainnya adalah lantaran cinta
terhadap dunia, dan saling menerkam dunia, bahkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menghabarkan dalam kitabNya yang mulia bahwasanya kekafiran
dan pantasnya seseorang mendapatkan siksa adalah lantaran cinta dan
mengutamakan dunia daripada akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ
وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang-orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. Yang demikian itu
disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih
dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir” [An-Nahl/16 : 106-107]
Disini terdapat catatan terakhir : “Bahwasanya sebagian orang yang
bertaubat menjauhi kehidupan untuk beribadah, dalam hal ini ada
komentar, dimana tidak dibenarkan bahwa setiap orang yang bertaubat
harus menempuh jalan ini : yaitu memutuskan dan berlaku zuhud dari
mengambil sebab-sebab kehidupan dunia yang diperbolehkan, maka itulah
rahbaniyyah (peribadatan dengan memutus dunia) yang kita dilarang
darinya.
Maha benar Allah yang berfirman.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi” [Al-Qashas/28 : 77]
Karena sesungguhnya dari keistimewaan agama kita adalah berlaku lurus dan bersifat tengah
Tidak ada Rahbaniyyah dan juga tidak ada maadiyah (materialistis) dan
hanyalah seorang muslim itu beribadah kepada Allah, berusaha dimuka bumi
dengan beramal, artinya bekerja dengan hal yang pantas yang dapat
mencukupi kebutuhannya, dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Dan
tidaklah dikenal dalam Islam memutuskan hidup hanya untuk beribadah saja
melainkan setelah berlalu masa yang penuh keutamaan (masa para
sahabat), sejak datangnya ajaran sufi yang berbuat bid’ah (amal yang
tidak terdapat tuntunannya dari agama ini), dan telah diketahui sikap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tiga orang yang
bertanya tentang ibadah Rasulullah, shalatnya, puasanya, menikahnya.
Maka tatkala mereka diberitahu seolah-olah mereka memandang amal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit. Maka mereka
berketetapan untuk menyelisihi amal-amal itu, maka berkata Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam yang artinya : "Demi Allah sesungguhnya aku
adalah manusia yang paling takut dan taqwa kepada Allah, akan tetapi
aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi
wanita-wanita, maka barangsiapa benci kepada sunnahku maka bukanlah
termasuk golonganku”[11]
Abu Nu’aim mengutip dalam kitab “Al-Hilyah” dengan sanadnya kepada Ibrahim bin Sulaiman Az-Zayyat, dimana ia berkata :
“Adalah kami berada disisi Sufyan Ats-Tsauri, lalu datanglah seorang
wanita dan mengeluhkan anak laki-lakinya, wanita itu berkata : “Wahai
Abu Abdullah saya mendatangimu agar engkau menasehatinya? Maka Sufyan
Ats-Tsauri berkata : Ya, datangkan anakmu itu”. Kemudian perempuan itu
datang bersama anaknya, maka Sufyan Ats-Tsauri pun menasehati anak itu,
setelah selesai berpalinglah anak itu pergi. Maka kembalillah wanita
tadi sesudah beberapa waktu dan berkata : “Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan wahai Abu Abdullah (Sufyan Ats-Tsauri) dan ia pun
menceritakan perilaku anaknya yang ia sukai setelah mendapat nasehat
Sufyan Ats-Tsauri.
Setelah beberapa lama, datanglah kembali wanita itu dan berkata : “Wahai
Abu Abdullah, annakku tidak pernah tidur dimalam hari, dan pada siang
hari ia berpuasa, tidak makan dan tidak pula minum. Maka berkatalah
Sufyan Ats-Tsauri : “Celaka anda, mengapa ia berbuat demikian ?” Wanita
itu menjawab : “Untuk mencari hadits”. Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata :
“Harapkanlah dirimu darinya pahala dari sisi Allah” [12]
Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang ulama terkemuka, dan seorang yang
banyak menyuruh kebaikan, tidaklah ia takut celaan orang yang suka
mencela dijalan Allah, hingga berkata salah seorang diantara mereka ;
“Adalah saya keluar bersama Sufyan Ats-Tsauri, maka hampir-hampir
lisannya tidak putus dari menyuruh kebaikan dan melarang dari
kemungkaran baik ketika pergi atau pulang” [13]
Sebagaimana ia adalah seorang yang peduli dengan keadaan kaum muslimin,
dan dari kisah tentang ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Yahya bin
Yaman: Sufyan Ats-Tsauri dan Ibrahim bin Adham berbincang-bincang pada
malam hari hingga subuh, adalah mereka berdua memperbincangkan
masalah-masalah kaum muslimin.
Dan dalam kisah ini kita melihat bagusnya perangai wanita tadi dalam
menyelesaikan problematika anaknya, ia pergi ke Sufyan Ats-Tsauri dan
memaparkan masalah yang ia hadapi, dan meminta dari Sufyan Ats-Tsauri
agar menasehati putranya. Dan kita telah membaca bagaimana Sufyan
Ats-Tsauri menerima dengan cepat permintaan wanita itu, dan bagaimana
baiknya perangai dan sikap tawadhunya, maka ia bersegera memenuhi
permintaan itu dan menasehati anaknya, lalu perangai anak wanita itu
menjadi baik, hingga datanglah wanita itu berterima kasih kepada Sufyan
Ats-Tsauri atas perbuatan baiknya, dan tidak sampai disini saja hasil
nasehat Sufyan Ats-Tsauri, bahkan anak itu bertambah keistiqomahan,
akhlak serta perhatiannya dalam mencari ilmu dan hadits, yang
menyebabkan wanita itu mengkisahkan keadaan anaknya pada kali ketiga, ia
berkata : “Anakku tidak tidur pada malam hari dan ia berpuasa pada
siang hari … untuk mencari hadits”.
Demikianlah nasehat itu berbekas dihati pemuda itu, hingga ia menjadi seorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu hadits.
Sebagaimana kita menyaksikan bagaimana wanita itu memantau terus keadaan
putranya, dan mengkhabarkannya kepada Sufyan Ats-Tsuri, dan ia mendapat
manfaat sesudah itu dengan pendapat dan nasehat Sufyan Ats-Tsauri.
Inilah fenomena yang mulia dari dakwah Salafush Shalih, dan dalam
kitab-kitab yang menjelaskan biografi salafush shalih banyak dijumpai
kisah-kisah yang indah (dalam kehidupan mereka), barangsiapa ingin
mengambil contoh maka hendaklah mengambil contoh orang yang sudah
meninggal dunia (para sahabat nabi), karena orang yang masih hidup tidak
aman darinya fitnah.
Home »
» orang kaya yang zuhud dan ahli ibadah
orang kaya yang zuhud dan ahli ibadah
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 09.08
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar