PERSEROAN(SYIRKAH) YANG SESUAI DENGAN SYARIAH
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan
perkembangan sains dan teknologi, perkembangan kegiatan ekonomi dengan
beragam bentuk dan macamnya turut mewarnai dunia bisnis. Bentuk-bentuk
transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi berkembang cepat seiring dengan
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
Transaksi bisnis kontemporer yang berkembang tidak hanya dilakukan oleh
perorangan, namun juga oleh berbagai kelompok usaha yang bergabung dalam
badan hukum usaha (syirkah) tertentu, seperti Perseroan Terbatas, CV,
Firma, Koperasi dan sebagainya. Melihat begitu beragamnya transaksi
bisnis serta organisasi atau kelompok usaha yang mengelola transaksi
bisnis tersebut, maka adalah suatu keharusan bagi kaum Muslimin untuk
mengkaji bagaimana bentuk transaksi bisnis dan badan hukum menurut sisi
Syari'at Islam ? Hal ini menjadi penting mengingat aktivitas seorang
Muslim harus selalu terikat dengan aturan Allâh Azza wa Jalla sebagai
bukti keimanannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhirat.
Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh mana peranan Syariat
Islam dalam menjawab perkembangan zaman, khususnya perkembangan dunia
bisnis.
Dalam dunia bisnis, jika seseorang memiliki modal dan kemampuan usaha
maka orang tersebut kemungkinan besar akan mengembangkan uangnya
sendiri. Namun bila tidak punya skill, maka ia bisa bekerja sama dengan
orang lain yang mampu berusaha. Dan jika modalnya kurang, ia bisa
bekerjasama dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang
yang punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha,tapi
tidak memiliki dana; atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, maka
ia bisa bekerjasama dengan orang lain yang memiliki dana atau keahlian.
Inilah kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun dana, dalam
berusaha meraih atau mengembangkan harta.
Bentuk-bentuk kerjasama dan tata caranya, diatur dalam Bab Syirkah.
Dalam beberapa literature, kita tahu bahwa bentuk perseroan (syirkah)
itu ada berbagai macam. Pada makalah ini, akan kami coba sajikan secara
umum bagaimana bentuk-bentuk perseroan (syirkah) menurut Islam. Hal ini
penting agar kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan badan hukum usaha
(perseroan) yang ada selama ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip
perseroan dalam Islam atau tidak ? Jika sesuai, maka tentunya kita dapat
memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika tidak sesuai, maka kita
bisa mengambil langkah yang sesuai dengan kemampuan kita.
DEFENISI DAN DASAR HUKUM PERSEROAN (SYIRKAH) DALAM ISLAM
Dari segi bahasa, syirkah adalah penggabungan (ikhtilâth) dua harta atau
lebih menjadi satu.[1] Sedang menurut istilah syari’, syirkah adalah
hak kepemilikan terhadap suatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih
sesuai prosentase tertentu (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar
kepemilikan suatu benda).[2]
Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari al-Qur'ân dan
as-sunnah serta ijmâ’. Dalam al-Qur’ân Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
… maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu [an-Nisâ’/4:12]
Dalam ayat tersebut Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa saudara
seibu yang memenuhi syarat jika lebih dari satu maka mereka bersekutu
dalam kepemilikan sepertiga harta warisan.
Adapun dasar dari Sunnah, yaitu firman Allah Azza wa Jalla yang terdapat
dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu bahwa Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ
أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berkata, "Aku adalah pihak ketiga (Yang
Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah
seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada mitranya. Apabila
diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka
(tidak melindungi)" [3]
Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam
dengan penduduk Khaibar. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ
خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam telah mempekerjakan penduduk
Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari hasil
panen tanaman dan buah.[4]
Dalil ketiga adalah ijma’ yaikni ulama’ kaum Muslimin telah sepakat
tentang bolehnya syirkah (perseroan), namun mereka berbeda pendapat
dalam beberapa macam jenis syirkah[5].
MACAM-MACAM SYIRKAH
Syirkah, menurut jumhur Ulama’ dibagi menjadi dua jenis yaitu syirkatul amlâk dan syirkatul uqûd.
1. Syirkatul amlâk yaitu kepemilikan barang secara kolektif.
Syirkatul amlâk ada dua bentuknya yaitu :[6]
a. Syirkatul ikhtiyâr yaitu persyerikatan dalam kepemilikan barang (
atau kepemilikan secara kolektif) yang dihasilkan oleh perbuatan dua
orang atau lebih. Misalnya :
• Dua orang atau lebih yang sepakat untuk membeli suatu barang dengan
biaya bersama. Maka kepemilikan terhadap barang itu sesuai prosentase
modal.
• Dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang, kemudian
mereka terima. Maka keduanya memiliki bagian dari barang tersebut.
Kepemilikian ini disebut syirkatul ikhtiyâr karena setiap pihak
mempunyai hak pilih dalam menentukan kepemilikan perseroan.
2. Syirkatul jabr ; yaitu kepemilikan secara kolektif terhadap sebuah
barang tanpa usaha dari pihak yang bersyerikat. Misalnya dalam harta
warisan yang didapat oleh ahli waris jika ada dua atau lebih.
Dalam dua macam syarikat ini tidak diperbolehkan bagi salah satu pihak
untuk menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa idzin dari
semua pihak yang terkait dalam persyarikatan.[7]
2. Syirkatul Uqûd.
Syirkatul uqûd adalah aqad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang
bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melakukan kerjasama usaha
dengan tujuan mencari untung.[8]
Dari pengertian ini dan juga dengan memperhatikan berbagai bentuk
kerjasama usaha perseroan (syirkah), maka dalam syari'at Islam,
perseroan ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.yaitu :
a. Syirkah Bil Amwâl (Perseroan dalam modal)
Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha
guna menghasilkan keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk yaitu:
1. Syirkatul Inân
Syirkah Inan adalah persyerikatan dua pihak atau lebih dimana masing-masing
membawa dana sebagai modal dan keahlian masing-masing dalam sebuah
usaha. Modal utama adalah uang dan keahlian. Keabsahan syikrah jenis ini
telah disepakati oleh para Ulama.
Dalam perserikatan (syirkah) ini, barang yang disertakan sebagai modal
harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung. Nilai modal
atau barang modal dari masing-masing pihak tidak harus sama.
Syirkatul Inân dibangun diatas prinsip wakâlah (perwakilan) dan amanah
(kepercayaan). Karena masing-masing pihak telah memberi kepercayaan dan
izin kepada mitranya untuk mengelola dana dalam usaha yang disepakati
tersebut. Bila telah berlangsung aqad, maka masing-masing pihak harus
terlibat secara langsung, tidak boleh diwakilkan, karena perserikatan
(syirkah) ini melibatkan badan (fisik) mereka. Namun bila semua pihak
yang terlibat bersepakat untuk menggaji seorang pegawai yang mengelola
usaha itu, maka itu diperbolehkan, tapi bukan sebagai pegawai salah
pihak.
Dalam perserikatan ini, pembagian laba tergantung kesepakatan sedangkan
resiko kerugian ditanggung berdasarkan prosentase modal masing-masing.
Berdasarkan kaidah :
الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ الْمَالَيْنِ
Laba itu tergantung kesepakatan bersama sedang kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[9]
2. Syirkatul Mufâwadhah
Secara bahasa al-mufâwadhah adalah al-musâwah (persamaan). Dinamakan
al-mufâwadhah karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam
perserikatan ini harus sama.
Syirkatul mufâwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian serta
agama harus sama kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula.
Menurut Hanafiyah dan Zaidiyyah bahwa dalam syirkah ini, masing-masing
pihak boleh melakukan keputusan atau kebijakan sesuai kebutuhan tanpa
harus meminta pertimbangan mitranya. Sedangkan menurut malikiyah hal
semacam ini disebut syirkatul inan. Malikiyah menetapkan syarat dalam
syirkah mufawadhoh yaitu setiap kebijakan yang diambil oleh salah satu
pihak harus seizin mitranya.
Menyikapi pendapat hanafiyyah dan zaidiyah di atas, imam Syafi'i
rahimahullah mengatakan, "Jika syirkah mufâwadhah (yang seperti ini)
tidak bathil, maka tidak ada hal bathil lagi yang aku ketahui di dunia."
Sementara Ulama’ hanabilah memandang syirkah mufâwadhah yang berarti
persamaan dalam modal, kerja, perwakilan, untung dan rugi adalah
diperbolehkan[10]
Yang rajih -wallahu a’alam- adalah pendapat jumhur yaitu dalam syirkah
mufâwadhah masing-masing pihak harus meminta pendapat dan kerelaan
mitranya dalam kebijakan dalam bisnisnya agar tidak ada gharar dan
jahalah (penipuan).[11]
b. Syirkah bil A’mâl atau bil Abdân (Persyarikatan Pada Tenaga/ Keahlian)
Syirkah ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha sebagai
modal utama. Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa
memanen padi atau mengangkat barang atau membuat perkakas rumah tangga
dan lain sebagainya. Dalam hal ini, menurut jumhur Ulama tidak
disyaratkan kesamaan tenaga atau keahlian pada masing-masing pihak dan
hasil dibagi sesuai kesepakatan bersama. Perserikatan seperti ini sah
menurut jumhur ulama walaupun kemampuan masing-masing tidak sama. Ulama’
yang membolehkan adalah dari kalangan hanafiyyah, malikiyah, hanabilah
serta zaidiyyah,[12] berdasarkan :
قَالَ ابنُ مَسْعُوْدٍ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا
نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ
أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ فَلَمْ يُنْكِرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم عَلَيْنَا
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku bersyerikat dengan Ammar
dan Sa’ad dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Sa’ad berhasil
menawan dua tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa
(lalu kami bagi bertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingkari perbuatan kami.[13]
Ibnu Taymiyyah rahimahullah memandang hadits ini sebagai hujah syirkatul abdân[14]
Sedangkan menurut syâfi'iyyah, imamiyyah, dan zufar, syirkatul abdân ini
hukumnya bathil karena modal tenaga atau keahlian itu tidak dapat
diukur nilainya dengan pasti, beda halnya dengan harta yang memiliki
kejelasan dan mudah untuk prosentase. Jadi dalam masalah ini terdapat
unsure gharar (penipuan).[15]
Yang rajih – wallahu a’lam- adalah pendapat Jumhur, karena gharar dengan
sebab jahalah (ketidak jelasan) modal tenaga tersebut sangat tipis
sehingga tidak mempengaruhi hukum. Juga karena jahalah yang tipis itu
akan teratasi dengan syarat-syarat yang telah disepakati.
الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ
Kaum Muslimin berpegangan dengan syarat yang telah mereka tentukan
c. Syirkatul Wujûh (berserikatan dalam kedudukan)
Syirkah wujûh adalah akad berserikat antara dua orang atau lebih dengan
modal pinjaman dari pihak luar karena mereka memiliki kedudukan di
tengah masyarat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.
Artinya, dengan kedudukan itu orang-orang yang berserikat ini memperoleh
pinjaman lunak berupa barang sebagai modal untuk dijual kontan kepada
konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada modal harta.
Syirkah semacam ini dibolehkan oleh Ulama’ hanafiyah, hanâbilah dan
zaidiyyah dengan dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun
(penanggungan) wa taukîl (perwakilan) yaitu setiap persero dan mengkalim
barang yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga dapat
mewakilkan kepada syariknya untuk melakukan pembelian dan penjualan,
Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama dilakukan kaum muslimin dari
masa kemasa dan tidak terdengar satupun ulama’ yang melarangnya.
Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para syarik merupakan suatu
bentuk amal(tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut mereka hal
yang demikian diperbolehkan[16] .
Pendapat kedua adalah pendapat Ulama’ mâlikiyyah, syâfi'iyah,
zhâhiriyyah, imâmiyah, juga Abu Tsaur t yang memandang bahwa syirkatul
wujûh itu bathil karena menurut mereka syirkah itu hanya pada harta dan
tenaga (badan) dan mereka menilai syirkatul wujûh bukan harta dan bukan
badan.[17]
Berdasarkan pendapat pertama dapat disimpulkan bahwa syirkatul wujûh
akan menghasilkan bagian yang jelas bagi masing-masing pihak dari barang
hutangan tersebut ( yang dijadikan sebagai modal), sehingga keuntungan
atau kerugian akan dibagi sesuai prosentase tanggungan masing-masing.
Karena masing-masing pihak sebagai dhâmin (penjamin) dari bagian yang
telah disepakati.[18]
d. Syirkatul Mudhârabah
Syirkatul mudhârabah disebut juga qiradh. Ini adalah gabungan dari
syirkatul amwâl dari salah satu pihak dan syirkatul abdân dari pihak
kedua. Misalnya, akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih, dimana ada pihak yang membawa harta sebagai modal usaha sedangkan
yang lain membawa badan atau keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti
ini hukumnya mubah (boleh). Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu
pernah memberikan modal mudlârabah dengan menetapkan syarat-syarat
tertentu kepada pengelola, kemudian berita ini sampai kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenarkannya. Ijma' shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah memberikan
harta kepada anak yatim dengan cara mudhârabah. Kemudian Umar
Radhiyallahu anhu meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia
mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh
al-Fadlal.
Keuntungan dalam syirkah mudhârabah dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan
kerugian dibagi sesuai ketentuan syara' yaitu pemodal menanggung
kerugian harta, sementara pengelola menanggung kerugian waktu, tenaga,
keahlian dan pemikiran yang telah dicurahkan. Syirkah ini statusnya sama
dengan aqad wakâlah (perwakilan), dimana orang yang menjadi wakil tidak
bisa menanggung kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang
mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang
harus terjadi, bukan karena kesengajaan atau kecerobohan pengelola.
Modal usaha dalam syirkah mudhârabah harus diserahkan sepenuhnya kepada
pengelola. Syirkah itu terbangun atas dasar kepercayaan dan amanah.
Jadi, pemodal harus mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola untuk
mengelola usahanya sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau
disepakati.
Termasuk syirkah mudharabah, bila ada dua pemodal atau lebih yang
bersepakat untuk menyerahkan pengelolaan usaha tersebut kepada salah
seorang mereka dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan
demikian akan ada satu pihak yang menjadi pemodal sekaligus pengelola.
PRINSIP-PRINSIP POKOK SYIRKAH
Dengan memperhatikan berbagai bentuk syirkah dalam Islam, maka terdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :
1. Untuk jenis syirkatul amwâl maka modal harus kontan dan tidak boleh
dihutang atau tidak ditempat akad (ghaib) karena tujuan syirkah ini
adalah mencari keuntungan dengan usaha dan itu tidak akan terwujud jika
modal belum diberikan.[19] Alasan lain yaitu bila modal dihutang atau
belum diserahkan sementara pekerja sudah mengerahkan tenaga dan pikiran,
maka itu akan berpeluang menimbulkan sengketa.
2. Pembentukan dan pengembangan serikat harus dengan persetujuan seluruh
pihak yang terlibat. Jika sebuah serikat telah terbentuk dan ada pihak
lain yang ingin bergabung, maka itu harus dengan persetujuan semua pihak
yang terlibat.
3. Penghentian syirkah. Syirkah berdiri atas dasar kerelaan (ridha),
kepercayaan dan amanah. Sebagaimana aqad yang lain, aqad syirkah bisa
dibubarkan jika salah satu pihak membatalkan aqad. Atau karena salah
satu pihak meninggal atau gila. Menurut pendapat hanafiyah, bila salah
seorang mitra meninggal, ahli waris yang telah dewasa bisa melanjutkan
syirkah tersebut.
Bila salah satu dari dua orang yang berserikat menghendaki pembubaran,
maka mitranya harus memenuhi permintaan itu. Namun, apabila yang
berserikat lebih dari dua orang, lalu salah seorang minta pembubaran,
sementara yang lain tidak, maka serikat itu dibubarkan terlebih dulu
kemudian diperbarui lagi diantara mitra yang masing ingin terus
bekerjasama. Dalam syirkatul mudhârabah, bila pengelola menghendaki
penjualan agar meraih untung, sedang yang lain tidak, maka keinginan
pengelola harus dipenuhi karena keuntungan adalah haknya, sedang untuk
mendapatkannya harus melalui penjualan.
4. Pembagian Keuntungan dan Kerugian.
Keuntungan yang diperoleh harus dibagi sesuai dengan kesepakatan yang
ada diawal aqad dan harus jelas disebutkan dalam aqad. Tujuannya agar
tidak terjadi penipuan dan persengketaan. Sedangkan kerugian usaha
ditanggung berdasarkan prosentase modal yang disetorkan, berdasarkan
kaidah :
الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ الْمَالَيْنِ
Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama sedangkan
kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal
(uang)[20]
Dengan kita mengkaji bagaimana syariat Islâm mengatur syirkah, maka kita
dapat menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan sistem
kapitalis yaitu dengan mementingkan keuntuan pemilik modal belaka
merupakan suatu hal yang bertentangan dengan syariat Islâm sehingga
harus dilakukan perbaikan atau perubahan agar sesuai dengan syariat yang
Allâh Azza wa Jalla turunkan. Wallahu a’lam bis shawab
Home »
» FIQH BISNIS 1
FIQH BISNIS 1
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 09.31
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar