TAK SAMA ANTARA RIBA DAN PERNIAGAAN
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. [Al Baqarah:275].
Perniagaan model riba pada masa sekarang telah menyebar, merata di
seluruh pelosok dunia, di kota dan di desa. Penggemarnya bukan hanya
orang kafir, tetapi juga kaum muslimin. Berniaga dengan uang pinjaman
dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap bulan itu, bukan hanya
penguasaha kecil yang susah mencari pinjaman orang kampung -sehingga
didatangi oleh bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan
mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi pengusaha yang kayapun hobinya senang
berhutang di bank riba.
Mereka menganggap riba sama sengan peniagaan, karena dinilai sama-sama
mencari keuntungan. Tentunya orang mukmin yang ingin menghidupkan hukum
Allah dan Sunnah NabiNya tidak akan diam menghadapi kemungkaran ini.
Selanjutnya, mari simak pembahasannya, agar kita selamat dari murka
Allah di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memberi petunjuk kepada
kita. Amin.
MAKNA RIBA DAN PERNIAGAAN
Riba menurut bahasa artinya tambahan. [1] Sedangkan menurut istilah,
ialah tambahan secara khusus. [2] Sedangkan maksud tambahan secara
khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik
diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang
berkenaan dengan benda riba.
Perniagaan (al bai’ was syira’), ialah memberikan harga dan mengambil
yang dihargai. [3] Maksudnya, menyerahkan sesuatu yang berharga, dengan
mengambil sesuatu yang lain, bertujuan untuk dimiliki, dengan akad
secara lisan atau perbuatan, berdasar suka sama suka. Dalilnya firman
Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [An Nisa’:29].
HUKUMNYA
Riba hukumnya haram, berdasarkan firmanNya: ( وَحَرَّمَ الرِّبَا dan
Allah mengharamkan riba. (Al Baqarah:275), dan berdasarkan hadist yang
shahih dan ijma’ ulama. Sedangkan perniagaan hukumnya -menurut asal-
adalah halal, berdasarkan firmanNya: ( وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) dan
Allah menghalalkan perniagaan. [Al Baqarah:275]
Perniagaan yang asalnya halal ini, suatu saat akan berubah menjadi haram karena ada beberapa sebab, antara lain:
Pertama : Penjualan benda tertentu.
Seperti dilarang menjual anjing, kucing, kera, binatang buas dan
semisalnya. Dalilnya ialah, shahabat Ibn.Umar Radhiyallahu 'anhu
berkata:
نَهَى النبي عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menerima hasil dari penjualan anjing. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]. [4]
Kedua : Sifat penjualannya.
Seperti menjual barang yang belum jelas, menjual anak kambing di dalam
perut induknya, menjual kacang tanah yang masih di dalam tanah, menjual
ikan di dalam air, menjual kambingnya yang hilang, menjual barang yang
bukan miliknya dan seterusnya, hal seperti ini dilarang. Mengapa? Karena
ada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersumber dari
shahabat Abu Hurairah, dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang yang
ada unsur penipuan (tidak jelas). [HR Muslim, Kitabul Buyu’].
Ketiga : Berkenaan dengan waktunya.
Seperti berjualan ketika khatib sedang berkhotbah Jum’ah sampai selesai shalat.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. [Al Jum’ah:9].
Keempat : Berhubungan dengan tempatnya.
Seperti berjual-beli di masjid. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersumber dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
beliau bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
Apabila kamu melihat orang berjualan di masjid atau membelinya, maka
katakanlah: semoga Allah tidak memberi laba perniagaanmu. [Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dan Ad Darimi. Albani berkata, sanadnya shahih
menurut ketetapan Imam Muslim].[5]
Kelima : Berkenaan dengan caranya.
Seperti menjual barang ribawi (mengandung unsur riba). Misalnya: menjual
emas dengan emas, dengan melebihkan timbangannya sekalipun beda
bentuknya. Atau menjual uang yang sama jenisnya, dengan melebihkan
(menjual satu juta rupiah dengan memperoleh satu juta limapuluh ribu
rupiah). Menjual beras lima kilogram dengan beras kwalitas lain, dengan
tiga kilogram dan seterusnya. Dalilnya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu
'anhu.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilainya (timbangannya). Perak
dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul
Buyu’]
PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
Menurut pandangan orang jahiliyah dahulu, perniagaan itu disamakan
dengan riba dari segi keuntungan (sebagaimana tercantum dalam surat Al
Baqarah ayat 275). Tetapi dari segi hukum, menurut pandangan Dinul Islam
jelas berbeda. Riba hukumnya haram, tidak berubah menjadi halal dengan
alasan apapun. Pelakunya diancam dengan tidak memperoleh barakah dari
keuntungan yang didapatnya dan di akhirat mendapat siksa. Sedangkan
perniagaan asalnya halal, kecuali sebagian bentuk perniagaan yang
dilarangan dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.
Mengingat pembahasan perbedaan antara jual-beli dan riba ini sangat luas
jangkaunnya, -dikarenakan banyak dalil yang menjelaskan bentuk
perniagaan yang haram (yang mengandung riba), disusul pula perkembangan
model perniagaan pada zaman sekarang, yang pada hakikatnya mengarah
kepada riba- oleh karenanya dalam pembahasan ini, kami batasi hanya
memberikan contoh-contoh sepanjang pengetahuan kami model perniagaan dan
riba yang berkembang pada masa kini dengan mengacu kepada dalil dari Al
Qur’an, Sunnah dan fatwa para ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.
Sebelum memasuki pembahasan perbedaan diantara keduanya, perlu kita
mengetahui, mengenai benda apa yang apabila ditukar atau dijual dengan
melebihkan salah-satunya, berarti dinamakan riba? Maka jawabnya ialah
berikut ini.
Pertama : Ulama ahli fiqih telah sepakat, bahwa enam barang ini, yaitu:
emas, perak, gandum, syair (jenis gandum), korma dan garam, tergolong
riba, yaitu bila:
1. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya. Dinamakan riba fadhel.
2. Dijual atau ditukar, tidak diambil sebelum berpisah dari majelis. Dinamakan riba nasiah.
3. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya,
dan diambil kemudian hari. Dinamakan riba fadhel dan nasiah.
Adapun dalilnya, sebagaimana dituturkan Ubadah bin Ash Shamit
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, sesungguhnya kami pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ , فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ
فَقَدْ أَرْبَى , الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ
Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dengan
gandum, syair (jenis gandum) dengan syair, korma dengan korma, garam
dengan garam, maka harus sama (timbangan atau takarannya) dan harus
lewat tangan dengan tangan (diterima sebelum berpisah). Maka barangsiapa
yang menambahi atau minta tambah, sungguh ia telah meribakan, yang
mengambil atau yang memberi sama. [HR Muslim, Kitabul Masaqat].
Kedua : Ulama fiqih berbeda pendapat, tentang barang ribawi selain enam macam tersebut. Ada yang berpendapat:
1. Tidak termasuk ribawi. Demikian ini pendapat Zhahiriyah
2. Semua barang yang dijual dengan timbangan atau takaran termasuk ribawi. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.
3. Mata uang dan makanan, demikian pendapat Imam Syafi’i.
4. Khusus makanan yang dijual dengan timbangan atau takaran, menurut pendapat Imam Ahmad.
5. Makanan pokok bila ditukar sama jenisnya dengan melebihkan, termasuk riba. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik.
Ibnul Qoyyim berkata,”Pendapat yang paling kuat, ialah pendapat yang
mengatakan, bahwa makanan pokok bila dijual sama jenisnya dengan
melebihkan salah satunya atau tidak diambil langsung, termasuk riba.”[6]
Contohnya gula dengan gula, tepung dengan tepung, beras dengan beras dan seterusnya.
Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim ini, nampaknya diperkuat pula
oleh hadits dari Makmar bin Abdullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda.
الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ, قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ
Makanan ditukar dengan makanan harus sama. Makmar berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum. [HR Muslim, Bab Al Masaqah].
CONTOH PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
1. Termasuk riba, bila menjual atau menukar uang lain jenis, dengan pembayaran belakangan.
Misalnya, menjual dolar dengan rupiah, salah satunya diambil nanti atau
besok dan seterusnya. Penjualan ini haram karena termasuk riba nasi’ah.
Dalilnya, dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ
Dan janganlah kamu menjual perak dengan emas, salah satunya tidak
kelihatan yang lain di hadapannya (tunai). [HR Imam Malik, Kitabul
Buyu’, sanadnya shahih].
Termasuk jual beli yang sah, bila menjual uang lain jenis dengan pembayaran tunai, sekalipun tidak sama nilainya.
Misalnya, menjual $ 100 USA dengan Rp 900.000,- diterima di tempat
penjualan, maka penjualan ini sah, karena uangnya lain jenis dan
diterima di tempat.
Dalilnya, dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sesukamu apabila berhadap-hadapan (tunai). [HR Muslim, Kitabul Masaqat].
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, apabila sama
penyebabnya dan berbeda jenisnya, boleh dijual dengan melebihkan salah
satunya, tetapi harus tunai. [7]
2. Termasuk riba, menjual barang ribawi yang sama jenisnya yang satu kelihatan, sedangkan yang lainnya tersembunyi.
Misalnya: Jual gelang emasmu 10 gr ini dengan kalung emasku di rumah
seberat 10 gr. Penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba
nasi’ah.
Dalilnya, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا
تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ
إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا
تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
Janganlah kamu menjual emas dengan emas, melainkan sama timbangannya,
jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu
menjual perak dengan perak, melainkan sama timbangannya, jangan engkau
melebihkan sebagian atas sebagian, dan jangan engkau menjual yang tidak
kelihatan dengan yang nampak. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, bila sama
illat (penyebab) dan jenisnya, haram dijual dengan lebih (fadhel) atau
tertunda (nasi’ah) penerimaannya. [8]
Termasuk jual beli yang sah, bila dia berkata: Jual gelang emasmu 10 gr
ini, dengan kalung emasku seberat 10 gr itu. Hukum perniagaanya sah,
karena sama ridha dan sama nilainya dan keduanya diterima ditempat.
3. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain bentuk.
Misalnya: Aku jual perakku yang berupa cincin 10 gr ini dengan gelang perakmu 12 gr itu.
Hukum penjualan seperti ini haram, sekalipun sama-sama ridha, sama illat
dan jenisnya, diterima ditempat, tetapi berbeda nilainya, yaitu 10 gr
dengan 12 gr. Ini termasuk riba fadhel.
Dalilnya, lihat hadits yang dituturkan Ubadah bin Ash Shamit di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Masaqah.
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan
dari emas dengan emas, perak dengan perak, lebih dari timbangannya
karena berbeda bentuknya. [9]
Termasuk jual beli yang sah, bila,
a. Perak dengan perak tadi dijual sama timbangannya, seperti 10 gr
dengan 10 gr sekalipun berbeda modelnya (misal: gelang dengan
cincin).Dalilnya sebagaimana hadits diatas.
b. Dijual cincin perak dengan berat 10 gr tadi dengan uang, lalu
dibelikan perak berupa gelang 12 gr tadi, walaupun tidak menambah dengan
uang.
c. Jual atau tukar tambah sepeda dengan sepeda, motor dengan motor yang
sama merknya, rumah dengan rumah, tanah dengan tanah dan semisalnya,
sekalipun sama jenisnya dan diterima saat sebelum pisah, tetapi illatnya
bukan barang ribawi, yaitu bukan emas dan perak atau uang dan bukan
makanan pokok.
d. Menjual makanan yang lazimnya tidak dijual dengan takaran, seperti
buah durian dengan buah kelapa, sekalipun jumlahnya berbeda, karena
illatnya buah bukan makanan pokok dan tidak harus dijual dengan takaran
atau timbangan.
4. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika
dilebihkan satu sama lain, karena lain mutu atau kwalitasnya.
Misalnya: Saya jual berasku 100 kg yang aku peroleh dari tunjangan
pemerintah ini dengan berasmu yang baru itu 90 kg, atau gula 5kg
warnanya putih sekali ini dijual dengan gula agak kekuning-kuningan 6
kg. Hukum penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba fadhel, dan
karena illatnya sama. Yaitu makanan pokok dan jenisnya sama (beras
dengan beras, gula dengan gula) sekalipun kwalitasnya tidak sama.
Dalilnya Dari Abu Hurairah, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ
بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا
قَالَ لَا وَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ
مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّه لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ
بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang
pekerja (Sawad bin Aziyah Al Anshari) di Khaibar, lalu dia datang
dengan membawa kurma yang sangat istimewa. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bertanya,”Apakah kurma Khaibar seperti ini semua?”
Lalu dia menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah aku menukar satu
sha’ kurma yang istimewa ini dengan korma kami dua sha’, dan dua sha’
dengan tiga sha’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,”Jangan kamu membeli seperti itu! Jual kormamu yang campuran
itu dengan dirham (mata uang), lalu beli korma yang istimewa itu dengan
dirham.” [HR Bukhari Muslim, Kitabul Buyu’]
Termasuk jual beli yang sah, bila beras bagian yang jelek mutunya tadi
dijual terlebih dahulu, dirupakan dengan uang atau barang lain, lalu
dibelikan beras yang baik, demikian juga untuk gula.
Hadits di atas menunjukkan bolehnya merekayasa di dalam jual beli, asal
dalam batas syar’i, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n
tentang korma yang jelek dijual dengan dirham dulu, kemudian uangnya
untuk membeli korma yang baik.
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi bila sama
illat dan jenisnya, haram dijual dengan melebihkan salah satunya dan
tertunda penerimannya. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak,
sekalipun salah satunya bermutu baik, yang lain jelek. [10]
5. Termasuk riba, bila menjual atau menukar benda ribawi sama jenisnya, dengan menambah ongkos pembuatan.
Misalnya: Menukar cincin emas senilai 3 gr di toko emas dengan senilai
3gr pula, lalu ditambah ongkos pembuatan. Hukumnya haram , karena
termasuk riba fadhel, seharusnya tidak pakai tambah . Adapun dalilnya
sebagaimana tercantum di atas.
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan
dari emas dan perak, yang sama jenisnya dengan melebihkan pada salah
satunya karena ongkos pembuatan. [11]
Termasuk jual beli yang sah.
- Bilas cincin emas yang bernilai 3 gr tadi dijual dengan uang, lalu
diterimanya, lalu dibelikan emas 3 gr pula sama bentunya atau lain ,
sekalipun nilai jual dan beli berbeda , karena orang menjual ingin cari
untung , dan dia menjual dengan lain jenis , yaitu emas dengan uang.
- Bila mempunyai emas 10 gr, ingin ditukar dengan 17 gr, dengan membayar kekurangannya berupa uang tunai, hukumnya sah. [12]
6. Termasuk riba, menjual benda ribawi yang lazimnya dijual dengan
takaran atau timbangan, tetapi dijual salah satunya tanpa ditimbang atau
ditakar.
Misalnya : Ada orang menjual emas tetapi tidak diketahui timbangannya
dengan emas milik temannya, berupa gelang emas 10 gr, atau menjual beras
di dalam karung yang tidak jelas timbangannya dengan beras 50 kg.
Hukumnya haram, termasuk riba fadhel, karena sesuatu yang tidak jelas,
maka akan terjadi penambahan pada salah satunya.
Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لَا يُعْلَمُ مَكِيلَتُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual tumpukan kurma
yang belum diketahui takarannya dengan korma yang sudah ditakar. [HR
Muslim, Kitabul Buyu’]
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Yang dinamakan al
mumatsalah (persamaan) harus terwujud persyaratannya (harus sama jenis
dan ukurannya). Maka, apabila meragukan, berarti melebihkan (riba). [13]
Termasuk jual beli yang sah, bila emas yang belum jelas timbangannya,
ditimbang dulu, lalu dijual dengan uang atau ditukar dengan emas dengan
nilai yang sama dan diterima sebelum berpisah, sebagaimana mafhum
(pemahaman) hadits di atas.
7. Termasuk riba, bila menjual barang ribawi, tidak dengan ukuran syar’i.
Misalnya: Menjual emas dengan takaran atau bijian. Padahal menurut
syari’at Islam harus dijual dengan timbangan. Contoh yang lain, menjual
gula dengan cawukan (Jawa, menyiduk secara serampangan). Padahal
lazimnya dijual dengan timbangan. Adapun barang yang lazimnya dijual
dengan takaran atau timbangan, seperti beras, maka boleh membelinya
dengan salah satu ukurannya, asal dengan uang atau benda yang lain. Akan
tetapi tidak boleh menjual beras 1 kg dengan beras 1 liter, karena
termasuk riba fadhel. Sebab ukurannya tidak sama.
Dalilnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَزْنًا بِوَزْنٍ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلاً بِكَيْلٍ , وَالشَّعِيْرُ
بِالشَّعِيْرِ كَيْلاً بِكَيْلٍ
Emas dijual dengan emas, hendaknya sama timbangannya. Dan perak dijual
dengan perak, hendaknya sama timbangannya. Gandum dijual dengan gandum,
hendaknya sama takarannya. Dan gandum syair dijual dengan syair,
hendaknya sama dengan takarannya. [HR Al Atsram dan Ath Thahawi,
dishahihkan oleh Al Lajnah Daimah 13/502]
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual barang
ribawi, melainkan dengan ukuran syar’i. Yaitu barang yang lazimnya
dijual dengan timbangan, maka harus dijual dengan timbangan; yang dijual
dengan takaran, maka harus dijual dengan takaran pula. [14]
Termasuk jual beli yang sah.
- Bila emas dijual dengan timbangan dan diterima tunai.
- Bila tanah dengan meteran atau ukuran lain, karena bukan termasuk barang riba.
- Bila makanan ringan dan buah-buahan dengan bijian atau jumlah, karena bukan makanan pokok.
- Bila besi dengan timbangan atau bijian, karena bukan benda ribawi.
8. Termasuk riba, bila menjual sama jenisnya, tetapi bercampur dengan jenis lain, sebelum dipisah.
Misalnya: Menjual cincin emas yang bermata, dengan perhiasan emas yang
tak bermata, atau dijual dengan uang, maka hukumnya haram. Karena tidak
jelas timbangan emasnya dan termasuk riba fadhel. [15]
Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Barang ribawi tidak boleh
dijual walaupun sama jenisnya, apabila salah satunya atau keduanya
bercampur dengan jenis lain. Seperti, satu mud korma ajwah dan satu
dirham, ditukar dengan semisalnya. Atau dengan dua mud dan dua dirham.
Atau satu dirham dan satu dinar dengan dinar. [16]
Dalilnya, dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata.
اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا
ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ
عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ : لَا تُبَاعُ
حَتَّى تُفَصَّلَ
Saya membeli kalung pada waktu perang Khaibar dengan harga dua belas
dinar. Di dalamya terdapat emas dan permatanya, lalu aku lepas
permatanya. Tiba-tiba aku menjumpai beratnya lebih dari dua belas dinar,
kemudian aku menuturkan kepada Nabi n , lalu beliau menjawab,”Jangan
kamu jual, sehingga kamu pisahkan (emas dengan permatanya).” [HR Muslim,
Kitabul Masaqat]
Termasuk jual beli yang sah, bila menjual perhiasan emas tadi dengan
melepas permatanya sebelum dijual, lalu ditukar dengan emas yang sama
timbangannya dan diterima sebelum berpisah, atau dibelinya dengan uang.
Dalilnya dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilai (timbangannya). Perak
dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul
Buyu’].
9. Termasuk riba, bila menjual barang dengan pembayaran taqsith
(kredit), dan harus menambah nilainya apabila terlambat pembayarannya.
Hal ini termasuk riba jahiliyah (riba nasiah). Untuk lebih jelasnya,
silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 154 ,156, 161.]
Termasuk jual beli yang sah, bila pembelian barang dengan kredit
tersebut tidak mengalami penambahan nilai hutang, bila tertunda
pembayarannya.
Dalilnya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 155.
10. Termasuk riba, bila membelikan barang untuk orang lain dengan
pembayaran tempo (tentunya lebih mahal), lalu pembeli menjualnya kepada
penjual pertama lebih murah, karena dibayar tunai. Ini temasuk jual beli
‘inah. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca Fatawa Lajnah Daimah 13/
136-138.
Contohnya, Fulan membelikan mobil untuk orang lain dengan harga kredit
100 juta rupiah, diangsur selama dua tahun. Setelah akad pembelian,
sebelum dipegangnya, dia menjualnya kepada Fulan lagi dengan tunai lebih
murah, hanya 70 juta rupiah umpamanya. Maka, hukumnya haram.
Dalilnya, dari Ibnu Umar, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Apabila kamu jual beli dengan cara ‘inah, dan kamu sibuk dengan membajak
ladangmu, dan kamu ridha dengan bercocok tanam, dan kamu tinggalkan
kewajiban jihad (fardhu’ ain), maka Allah akan membuat kamu hina.
Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kamu kembali ke
agamamu. [HR Abu Dawud, Kitabul Buyu’ dan Imam Ahmad Musnad Muktsirin].
Termasuk jual beli yang sah, bila pembeli di atas menjual kepada penjual
pertama, walaupun hanya 70 juta rupiah, bila hutangnya yang berupa
kredit tadi telah dibayar lunas. Untuk lebih jelasnya, baca Fatawa
Lajnah Daimah 13/ 139.
11. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.
Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp 1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr. Atau 10
gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00. Dinamakan riba fadhel
dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali setelah
panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya ke KUD. Dinamakan
riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya harus
dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan riba fadhel dan
nasiah. Karena menjual barang haknya penjual, bukan haknya pembeli.
Dalilnya, firman Allah.
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan memungut
tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al
Baqarah:279].
Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi
berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan benih telur ke
dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena meminjam sesuatu, harus
kembali dengan sesuatu yang sama pula. والله أعلم
Peminjaman di atas sah, apabila:
- Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
- Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
- Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal
beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal, sedangkan
pembayarannya setelah panen.
- Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
- Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan uang. Hal ini
dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan barang ribawi.
- Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan rumah
umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan. Karena barang
tersebut bukan benda ribawi.
12. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar, kembali
seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel, sekalipun sama-sama
suka.
Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
Menjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya), perak
dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul
Buyu’].
13. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan mendapat tambahan atau dikurangi.
Misalnya, menitipkan uang di bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil
bunganya juga. Atau sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi
ketika diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang
benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan kepentingan
kebutuhan sekolah.
Dalilnya, firman Allah.
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan memungut
tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al
Baqarah:279].
Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena titipan.
Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain dengan akad jual
beli.
14. Termasuk riba, bila menjual dan membeli saham di bank. Karena pada
hakikat penjualan saham ini, ialah menjual uang dengan uang yang tidak
sama nilainya dan tidak langsung diterima. Dan karena usahanya
membungakan uang. [17]
Dalilnya, firman Allah:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al Maidah:2].
15. Termasuk jual beli yang sah, bila saham tersebut telah berada di
tangannya, dan bukan bekerja sama dengan bank ribawi. Dan sebaiknya
diberitahukan kepada pemilik saham yang lain. Karena kawannya lebih
berhak, daripada yang lain. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits.
Demikianlah sebagian contoh perbedaan antara riba dan perniagaan yang
dihalalkan menurut pandangan Dinul Islam yang mulia. Tentunya tidak
menutup kemungkinan masih banyak lagi mcam jual-beli sistim riba.
Utamanya penjualan kertas berharga yang dikeluarkan oleh bank. Hal ini
tentunya dapat diketahui oleh pengusaha besar, yang selalu berhubungan
dengan bank. Seperti penjualan cek dengan harga lebih murah daripada
yang tercamtum di dalamnya, karena pencairannya menunggu setelah satu
bulan –umpamanya- dan seterusnya.
والحمد لله رب ا لعالمين
Home »
» FIQH BISNIS 5
FIQH BISNIS 5
Written By phyton.id on Senin, 10 Juni 2013 | 09.57
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar