Definisi Muzara’ah
Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap ta-nah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya.
Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang
yang akan menggarapnya dengan imbalan ia mem-peroleh setengah dari
hasilnya atau yang sejenisnya.
Pensyaria’atan Muzara’ah
Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya:
عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar
untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil
buminya berupa buah atau hasil pertanian.”[1]
Imam al-Bukhari berkata [2] , Qais bin Muslim telah berkata dari Abu
Ja’far, ia berkata, tidaklah di Madinah ada penghuni rumah Hijrah
kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga atau
seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik, ‘Abdullah bin
Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Qasim bin ‘Urwah, keluarga Abu Bakar,
keluarga ‘Umar, keluarga ‘Ali dan Ibnu Sirin melakukan muzara’ah.
Dari Siapakah Biaya (Perawatannya)?
Tidak mengapa apabila biaya perawatan dibebankan kepada pemilik tanah atau kepada penggarap atau kepada mereka berdua.
Imam al-Bukhari berkata [3] , “'Umar bermuamalah dengan orang-orang
(dengan perjanjian) bila ‘Umar yang membawa benih maka ia memperoleh
setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa benih, maka mereka
memperoleh sekian.”
Ia (al-Bukhari) melanjutkan, “Berkata al-Hasan, ‘Tidak mengapa tanah
tersebut jika milik salah satu dari mereka berdua, lalu mereka
bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi antara
kedua belah pihak.’ Demikianlah yang menjadi pendapat az-Zuhri.”
Hal-Hal Yang Tidak Dibolehkan Dalam Muzara’ah
Tidak diperbolehkan muzara’ah (dengan perjanjian) bahwa petak yang ini
(hasilnya) bagi si pemilik tanah dan petak yang di sana bagi si
penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk
mengatakan, “Aku memperoleh darinya (tanah ini) sekian dan sekian
wasaq.”
Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata,
“Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah
menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan
memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai
kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal tersebut.” Aku lalu
bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau
dirham?” Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.”
Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang
mengerti tentang halal dan haram melihat kepadanya, maka mereka tidak
memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.” [4]
Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’
bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab,
“Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang
tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari
pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya
selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan
orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena
itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak
mengapa dengannya.” [5]
Home »
» FIQH JUAL BELI....BAB MUZARA'AH
FIQH JUAL BELI....BAB MUZARA'AH
Written By phyton.id on Sabtu, 29 Juni 2013 | 09.41
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar